Skip to main content

Kausalitas Hukum Pidana

Tiap- tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Masalah sebab dan akibat tersebut dengan nama causalitas, yang berasal dari kata “causa”  yang artinya adalah sebab.

Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapah jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab.

Seperti yang kita ketahui, bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal beberapa jenis delik yang penting dalam ajaran causalitas adalah perbedaan antara delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah delik yang telah dianggap penuh dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu hukuman. Sedangkan delik materiil adalah delik yang telah dianggap selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman dan undang-undang.

            Contoh-contoh delik formal dan materiil sebagai berikut:
      Delik formal
1.  Pasal 362 KUHP : Yang dilarang dalam perbuatan pencurian ini adalah perbuatannya mengambil barang milik orang lain.
2.      Pasal 242 KUHP : Yang dilarang memberikan keterangan palsu dalam sumpah.
·       
       Delik materiil
1)     Pasal 338 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menyebabkan matinya orang lain.
2)   Pasal 351 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah menimbulkan sakit atau luka pada orang lain.
3)  Pasal 187 KUHP : yang dilarang dalam delik ini adalah timbulnya kebakaran , peledakan banjir, sedangkan perbuatannya menimbulkan akibat tersebut tidak menjadi soal.
Dalam Delik formal perbuatan itulah yang dilarang dan pada delik materiil yang ditekankan adalah akibat dari perbuatan itu. Apabila ajaran kausalitas dihubungkan dengan delik formal sebagaimana telah diketahui akibat suatu peristiwa tidak dinyatakan dengan tekad sebagai unsur dari suatu delik. Oleh karena itu, ajaran kausalitas  dalam hubungannya dengan delik formal tidak memberikan pengaruh yang tegas. Akan tetapi jika ajaran kausalitas ini dihubungkan dengan delik materiil, akan lain halnya karena yang ditekankan dalam delik ini adalah akibat dari perbuatanya, jadi ajaran kausalitas ini penting bagi delik materiil.
            Tiap-tiap akibat pada kenyataannya dapat ditimbulkan oleh beberapa masalah, dan masalah satu dengan yang lainmerupakan suatu rangkaian sehingga akibat tersebut tidak ditimbulkan dalam suatu perbuatan saja, bahkan oleh beberapa perbuatan yang merupakan rangkaian yang dapat dipandang sebagai sebab dari timbulnya suatu akibat.
Sumber:http://fitriahartina011.blogspot.com/2012/10/ajaran-kausalitas-dalam-hukum-pidana.html


Macam Ajaran Kausalitas
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Teori dari Von Buri (ahli hukum Jerman), teori ini tidak membedakan mana faktor syarat yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, menurut teori ini, keensam faktor yang menjadi contoh, tidak ada yang merupakan menjadi syarat semuanya menjadi penyebab.. semua faktor dinilai sama pengaruhnya. Tanpa salah satu faktor tersebut, tidak akan terjadi akibat menurut waktu, dan tempat keadaan senyatanya dalam peristiwa itu.
Dengan ajaran ini maka menjadi diperluasnya pertanggungan jawab dalam hukum pidana, hal ini karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekedar syarat saja dari timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh case diatas. Si pengemudi dinilai bertanggungjawab.
Kelemahan ajaran ini ialah tidak membedakan antara faktor syarat dan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Pada contoh diatas si pengemudi mobil dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya peristiwa tadi, dan artinya bertentangan dengan asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan.
Untuk mengatasi kelemahan teori ini maka Van Hammel melakukan penyempurnaan dengan menambahkan ajaran tentang kesalahan. Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggungjawab atas timbulnya akibat itu, melainkan apabila pada diri si pembuat dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapa unsur kesalahan baik kesengajaan maupun keaalpaan.

2. Teori yang Mengindivualisir
Teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari tiombulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapa setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar benar terjadi secara konkret. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi maka di anatara sekian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupaka faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya beruipa faktor yang paling berperan atau paling dominan atau mempunya andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain dianggap sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab.
Menurut Birkmeyer tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas, faktor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian itu.
Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya berhubung ada dua kesulitan yaitu :
  1.  Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat
  2.  Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.


3. Teori yang Menggenaralisir
Teori yang dalam mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai padafaktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumya menurut akal dan kewajaran manusia.

a. Teori Adequat Subjektif
Dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat. Jadi dalam teori ini faktor subjektif dan sikap batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal.
Pada contoh diatas, maka pengendara mobil tidaklah dapat dipersalahkan atas kematian bapak tadi, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara slip tidak dapat dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian.

b. Teori Adequat Objektif
Teori ini dipelopori oleh Rumelin, pada ajaran ini tidak memperlihatkan bagaimana sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah peristiwa beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi setelah akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat.
Perbedaan antara teori adequat subjektif dan objektif yang dikemukakan oleh Prof Moeljatno, contohnya :
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada si pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasukkan racun, maka racu itu menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran adequat subjektif karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui perihal diamsukkannya racun, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian, tidak ada hubungan kausal.
Dipandang dari ajaran adequat objektif , karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat yang meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya, karenanya itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien.

Comments

  1. Broker Terbaik – Dapatkan Banyak Kelebihan Trading Bersama FBS,bergabung sekarang juga dengan kami
    trading forex fbsindonesia.co.id
    -----------------
    Kelebihan Broker Forex FBS
    1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
    2. SPREAD DIMULAI DARI 0 Dan
    3. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANK LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya

    Buka akun anda di fbsindonesia.co.id
    -----------------
    Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
    Tlp : 085364558922
    BBM : D04A8185

    ReplyDelete

Post a Comment

Share ya Sobat..

Popular posts from this blog

Pasal UUD 1945 Yang Menyangkut Lembaga Eksekutif, Legislatif , Yudikatif

1.       MPR a)      Pasal tentang keanggotaaan MPR Pasal  2 1)           Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.****) b)      Pasal tentang sidang yang diselenggarakan MPR Pasal  2 2)           Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.  3)           Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. c)      Pasal tentang wewenang MPR dalam melantik dan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Pasal 3 (2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.***/ ****) (3)   Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)  Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presid

Resume Hukum Administrasi Negara (HAN)

BAB 1 ADMINISTRASI DAN HUKUM ADMINISTRASI 1.1  Peristilahan Istilah hukum administrasi negara berasal dari keputusan/kesepakatan pengasuh mata kuliah tersebut pada pertemuan di cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelumnya istilah yang di gunakan ialah mengacu pada SK mentri P dan K tanggal30 Desember 1972 yaitu dengan nama Hukum Tata Pemerintahan. Dikaitkan dengan penggunaan istilah “administrasi” kiranya perlu di kaji kembali yaitu arti kata/istilah “administrasi” dalam hukum administrasi negara apakah sama dengan arti/istilah administrasi dalam ilmu administrasi negara. Langkah sistematis yang bisa kita tempuh ialah dengan memaparkan arti istilah administrasi menurut konsep HAN dan arti istilah administrasi menurut konsep IAN dan di teliti dari kepustakaan masing masing. Dalam bahasa asing istilah yang di gunakan ialah : inggris menggunakan istilah “administrative law” belanda menggunakan istilah “administratief recht” atau “bestuursrecht” jerman menggunakan

Pasal 53 & 54 KUHP : Mengenai Pogging ( Percobaan )

  PERCOBAAN   (Poging)   MOHAMMAD  EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara     A. Pengertian Percobaan (Poging)    1.  Percobaan Menurut KUHP   Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:    Pasal 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.                 Pasal 54  Mencoba me