Skip to main content

Pasal 53 & 54 KUHP : Mengenai Pogging ( Percobaan )


 
PERCOBAAN   (Poging) 
 
MOHAMMAD  EKAPUTRA, SH.,M.Hum 
Fakultas Hukum 
Jurusan Hukum Pidana 
Universitas Sumatera Utara 
  
A. Pengertian Percobaan (Poging)  
 
1.  Percobaan Menurut KUHP  
 Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan 
Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP 
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman 
adalah sebagai berikut: 
 
 Pasal 53 
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah 
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya 
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya 
sendiri. 
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan 
dikurangi sepertiga. 
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara 
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. 
 
              Pasal 54 
 Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. 
 Kedua pasal  tersebut tidak memberikan defenisi tentang apa yang 
dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging), yang selanjutnya 
dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. 
 Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai 
menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau 
dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. 
Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, 
seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang 
itu (Soesilo, 1980:59). 
 
 Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 
53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT yang menyatakan: 
Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van 
het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om 
een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk 
melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu 
kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun 
suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah 
diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan) (Lamintang, 1984: 
511). 
 
?2002 digitized by USU digital library 
1
 
 Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan 
kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan 
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena 
bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah 
sebagai berikut: 
a. Adanya niat/kehendak dari pelaku; 
b. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu; 
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. 
 
 Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan 
melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan 
akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut. 
 
 Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku saat ini 
menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan 
percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik 
pelanggaran tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap 
ketentuan-ketentuan pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh 
seseorang yang melakukan percobaan pelanggaran (mencoba melakukan 
pelanggaran) terhadap hal-hal yang telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dapat dipidana.  
 
 Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan ekonomi dengan 
pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut dilakukan 
dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan ekonomi 
jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan tersebut 
dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai pelanggaran 
ekonomi (1996:3). 
 Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat 
dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat (5)), percobaan 
menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding (Pasal 
184 ayat (5)). (Soesilo, 1980:61). 
 
2. Percobaan Menurut RUU KUHP Nasional   
 Ada perbedaan terminologi antara percobaan sebagaimana yang diatur 
dalam Pasal 53  KUHP yang berlaku saat ini, dengan percobaan yang diatur 
menurut RUU KUHP nasional yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan 
Perundang-undangan 1999-2000, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-
undangan, Direktorat Perundang-undangan. Terminologi percobaan seperti yang 
diatur di dalam Pasal 53 KUHP yang berlaku saat ini adalah percobaan melakukan 
kejahatan, sedangkan menurut RUU KUHP Nasional berubah menjadi percobaan 
melakukan tindak pidana. Hal ini terjadi karena RUU KUHP Nasional tidak 
membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana 
(delik) pelanggaran. Artinya untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. 
Dengan demikian, KUHP Nasional ini nantinya hanya terdiri dari 2 (dua) buku 
yaitu Buku Kesatu memuat tentang aturan umum dan Buku Kedua yang memuat 
aturan tentang tindak pidana dengan tidak lagi membedakan antara delik 
kejahatan dan delik pelanggaran. Adapun Buku Ketiga KUHP yang berlaku saat 
ini, yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung 
ke dalam Buku Kedua dengan kualifikasi tindak pidana. 
 
 Alasan penghapusan ini menurut Rancangan Penjelasan KUHP Nasional 
adalah disebabkan pembedaan antara kejahatan sebagai rechtsdelict dan 
?2002 digitized by USU digital library 
2
 
pelanggaran sebagai wetsdelict ternyata tidak dapat dipertahankan, karena ada 
beberapa rechtsdelict yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran (wetsdelict) dan 
sebaliknya ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan kejahatan 
(rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya. 
  
 Percobaan di dalam Rancangan KUHP Nasional diatur dalam Buku Kesatu 
tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban 
Pidana, paragraf 2 tentang Percobaan, Pasal 17 sampai dengan 20. 
 
Pasal 17 
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai 
melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, 
tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau 
akibat yang dilarang. 
(2) Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan: 
a. Perbuatan melawan hukum; 
b. Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada 
terjadinya tindak pidana; dan  
c. Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang 
dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak 
pidana. 
 
Pasal 18 
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak 
menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara 
sukarela, maka pembuat tidak dipidana. 
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan 
kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat 
perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. 
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah 
menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan 
telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat 
dipertangungjawabkan untuk tindak pidana tersebut. 
 
Pasal 19  
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda 
Kategori I tidak dipidana. 
 
Pasal 20 
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan 
ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang 
dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak 
pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari ? (satu per dua) 
maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. 
 
 Berdasarkan kepada Penjelasan Pasal 17 Rancangan Penjelasan KUHP 
Nasional diketahui ketentuan dalam Pasal 17 ini tidak memberikan defenisi 
tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang 
disebut melakukan percobaan tindak pidana. Adapun unsur-unsur tersebut 
adalah: 
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang 
dituju. 
?2002 digitized by USU digital library 
3
 
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang 
dilarang. 
 
3.  Perbandingan  
 Jika diperhatikan unsur-unsur percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP 
terdapat 3 unsur (syarat) yang harus dipenuhi agar seseorang yang melakukan 
percobaan dapat dihukum (kapan seseorang disebut melakukan percobaan 
kejahatan) yaitu: 
a. ada niat/kehendak dari pelaku; 
b. ada permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu; 
c. pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak pelaku. 
 
 Berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 53 KUHP tersebut, percobaan 
melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam RUU KUHP Nasional 
Pasal 17 disebutkan bahwa ketentuan pasal ini hanya menentukan kapan (bila) 
seseorang itu melakukan percobaan melakukan tindak pidana, yaitu : 
a. Pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana yang 
dituju. 
b. Pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau akibat yang 
dilarang. 
 
 Dengan demikian dapat diketahui bahwa terjadi perubahan signifikan 
dalam menentukan kapan (bila) seseorang itu melakukan percobaan, jika 
dibandingkan antara percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP dengan 
percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional. 
 
 Dalam hal ini unsur niat yang terdapat dalam percobaan yang diatur dalam 
Pasal 53 KUHP tidak lagi disebutkan secara eksplisit menjadi salah satu unsur dari 
percobaan sebagaimana yang diatur Pasal 17 RUU KUHP Nasional. Namun niat ini 
akan menjadi hal yang penting dalam menentukan kapan seseorang disebut telah 
melakukan permulaan pelaksanaan. 
 
 Hal yang menjadi pertanyaan mengapa niat ini tidak lagi dicantumkan 
(disebutkan) secara eksplisit sebagai salah satu unsur dari percobaan akan 
dibahas dalam sub bab berikutnya. 
 
B. Niat / Kehendak (Voornemen) 
 Jika mengacu kepada penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu suatu 
undang-undang disusun, dalam hal ini Memori Penjelasan (MvT) WvS Belanda 
1886 yang merupakan sumber dari KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, 
disebutkan bahwa sengaja (opzet) berarti : 
?de (bewuste) richting van den will op een bepaald wisdrijf (kehendak yang 
disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu) (Hamzah, 
1991: 84). 
 
Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan percobaan 
adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai maksud, 
kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan). 
Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel, 
van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen. 
 Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan 
kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah 
kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam 
?2002 digitized by USU digital library 
4
 
keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang 
dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara 
mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi 
dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat 
menjadi kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan 
dalam corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai 
keinsyafan kemungkinan). (Santoso, 2000:153) 
 
 Sebagai contoh, dalam suatu niat (kehendak) untuk melakukan 
pembunuhan dengan memberikan roti yang mengandung racun kepada 
seseorang. Dalam hal ini termasuk juga keinsyafannya bahwa kemungkinan sekali 
seluruh penghuni rumah orang yang dikirim roti tersebut ikut menjadi korban. 
Kemungkinan orang lain ikut menjadi korban termasuk pula apa yang disebut 
sebagai niat (kehendak) pada syarat percobaan (Loebby Loqman, 1996: 16). 
 
 Hal di atas sesuai pula dengan putusan Hoge Raad  tanggal 6 Februari 
1951, N.J. 1951 No. 475, m.o. B.V.A.R. yang dikenal dengan automobilist-arrest 
yang pada tingkat kasasi telah menyatakan seorang pengemudi mobil terbukti 
bersalah telah melakukan suatu percobaan pembunuhan terhadap seorang 
anggota polisi, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut: 
Seorang anggota polisi untuk keperluan pemeriksaan telah memerintahkan 
pengemudi mobil tersebut untuk berhenti. Namun pengemudi itu ternyata 
tidak mentaati perintah yang diberikan oleh anggota polisi tersebut, 
bahkan dengan kecepatan yang tinggi mengarahkan mobil yang 
dikendarainya langsung ke arah anggota polisi tersebut, dan hanya karena 
anggota polisi tersebut pada saat yang tepat sempat menyelamatkan 
dirinya dengan melompat ke pinggir, maka terhindarlah ia dari kematian 
(Lamintang, 1984:519). 
 
 Menurut Hazewinkel-Suringa dalam (Loqman, 1996:17) Hoge Raad 
mempersalahkan pengemudi dengan percobaan pembunuhan, meskipun secara 
sepintas mungkin tidak ada rencana  untuk membunuh anggota polisi itu. Tetapi 
kemungkinan yang diinsyafi (disadari) dapat diterima juga sebagai niat. Dalam 
hal ini niat terwujud dalam sengaja bersyarat (dolus eventualis) atau disebut juga 
dengan sengaja berinsyaf kemungkinan (opzet bij mogelijkheid bewustzinjn). 
 
 Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Vos menyatakan bahwa jika niat 
disamakan dengan kesengajaan, maka niat tersebut hanya merupakan 
kesengajaan sebagai maksud saja (Loqman, 1995: 16). 
 
 Sedangkan Mulyatno memberikan pendapat hubungan niat dan 
kesengajaan adalah sebagai berikut: 
a. Niat jangan disamakan dengan kesengajaan, tetapi niat secara 
potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah diwujudkan 
menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua perbuatan yang 
diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang 
tidak timbul, di sinilah niat sepenuhnya menjadi kesengajaan. Sama 
halnya dalam delik yang telah selesai. 
b. Akan tetapi apabila niat itu belum semua diwujudkan menjadi 
kejahatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat bathin yang 
memberi arah kepada perbuatan, yaitu ?subjektif onrechts-element?. 
c. Oleh karena niat tidak dapat disamakan dengan kesengajaan, maka isi 
niat itu jangan diambil dari isinya kejahatan apabila kejahatan timbul. 
?2002 digitized by USU digital library 
5
 
Untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi 
juga sudah ada sejak niat belum diwujudkan menjadi perbuatan 
(Loqman, 1995 : 17). 
 
  Jika diperhatikan ternyata niat (kehendak) yang merupakan salah satu 
unsur dari percobaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 KUHP, tidak lagi 
disebutkan secara eksplisit sebagai salah satu unsur dari melakukan percobaan 
seperti yang diatur dalam Pasal 17 RUU KUHP Nasional. 
 
 Ada beberapa hal yang diperkirakan menjadi dasar tidak disebutkannya 
niat sebagai salah satu unsur dari percobaan yang diatur dalam Pasal 17 RUU 
KUHP Nasional: 
a. Seperti yang telah dikemukakan oleh Loebby Loqman bahwa tidak seorangpun 
mengetahui niat orang lain, apabila nit itu tidak diucapkan. Atau dengan kata 
lain niat seseorang akan diketahui oleh orang lain jika orang yang mempunyai 
niat itu mengutarakannya (1996:18). Niat merupakan suatu keinginan untuk 
melakukan suatu perbuatan, dan ia berada di alam bathiniah seseorang. 
Adalah merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit (mustahil) untuk 
mengetahui  dan menentukan apa yang menjadi niat seseorang jika orang 
tersebut tidak mewujudkan niatnya itu menjadi suatu realita berupa 
serangkaian perbuatan (tindakan). Suatu hal yang kurang masuk akal jika 
seseorang mengutarakan niatnya kepada orang lain bahwa ia akan melakukan 
suatu tindak pidana. 
b. Seseorang yang baru berniat untuk melakukan suatu tindak pidana bukanlah 
merupakan suatu perbuatan yang telah melanggar suatu ketentuan hukum, 
setidaknya niat masih merupakan suatu keinginan untuk melakukan perbuatan 
yang masih berada di alam ide seseorang dan belum terwujud sebagai suatu 
perbuatan yang nyata (real), sehingga akibat dari adanya niat tersebut secara 
nyata tidak akan mengganggu kepentingan hukum. 
c. Menurut syariat Islam memikirkan dan merencanakan sesuatu tindak pidana 
tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dipidana, karena seseorang tidak 
dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niat yang 
tersimpan dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad  SAW 
sebagai berikut: 
Tuhan memaafkan umatku dari apa yang dibisikkan atau dicetuskan oleh 
dirinya, selama ia tidak berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. 
Seorang hanya dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan 
perbuatan yang dilakukan. (Santoso, 2000: 155).  
d. Selain itu ada instrumen lain yang lebih real yang dapat dipakai untuk 
mengetahui apakah seseorang telah dapat dianggap sebagai orang yang telah 
melakukan percobaan, yaitu berupa perbuatan persiapan dan permulaan 
pelaksanaan. Oleh karena itu untuk menentukan telah terjadinya suatu 
percobaan melakukan tindak pidana dapat dilihat dari rangkaian perbuatan 
yang dilakukan seseorang yaitu berupa perbuatan persiapan dan permulaan 
pelaksanaan. Agar seseorang dianggap telah melakukan percobaan, perbuatan 
yang dilakukannya itu haruslah merupakan suatu permulaan pelaksanaan. 
 
B. Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering) 
 
1. Permulaan Pelaksanaan Menurut Pasal 53 KUHP dan Pendapat Para 
Ahli Hukum 
 Niat merupakan suatu keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, dan ia 
berada di alam bathiniah seseorang. Sangat sulit bagi seseorang untuk 
?2002 digitized by USU digital library 
6
 
mengetahui apa niat yang ada di dalam hati orang lain. Niat seseorang akan 
dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada orang lain. Namun niat itu juga 
dapat diketahui dari tindakan (perbuatan) yang merupakan permulaan dari 
pelaksanaan niat. 
 Menurut Loebby Loqman, adalah suatu hal yang musykil apabila seseorang 
akan mengutarakan niatnya melakukan suatu kejahatan. Oleh karena itu dalam 
percobaan, niat seseorang untuk melakukan kejahatan dihubungkan dengan 
permulaan pelaksanaan (1995: 18). 
 
 Syarat (unsur) kedua yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dihukum 
karena melakukan percobaan, berdasarkan kepada Pasal 53 KUHP adalah unsur 
niat yang ada itu harus diwujudkan dalam suatu permulaan pelaksanaan (begin 
van uitvoering). 
 
 Permulaan pelaksanaan sangat penting diketahui untuk menentukan 
apakah telah terjadi suatu percobaan melakukan kejahatan atau belum. Sejak 
seseorang mempunyai niat sampai kepada tujuan perbuatan yang dikehendaki, 
biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan. Sehingga dalam hal ini dapat 
dilihat perbedaan antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan 
(Soesilo mempergunakan istilah permulaan perbuatan). 
 
 Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana timbul permasalahan tentang apa 
sebenarnya yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan (begin van 
uitvoering). Dalam hal ini apakah permulaan pelaksanaan harus diartikan sebagai 
?permulaan pelaksanaan dari niat? ataukah ?permulaan pelaksanaan dari 
kejahatan?. 
 Menurut Moeljatno, tidak ada keraguan baik menurut MvT maupun 
pendapat para penulis bahwa permulaan pelaksanaan dalam hal ini adalah 
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan (1985:21). 
 
 Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) 
KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain: 
a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang 
telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut 
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang 
disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan); 
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan  
uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai 
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk 
dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya; 
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang 
batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas 
(Lamintang, 1984: 528). 
 Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 
ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa batas antara percobaan yang belum dapat 
dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara 
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan uitvoerings-
handelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan). Selanjutnya MvT hanya 
memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan 
pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan 
sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah 
dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidingshandelingen 
(tindakan-tindakan  persiapan) tidak diberi-kan. 
?2002 digitized by USU digital library 
7
 
 Menurut MvT batas yang tegas antara perbuatan persiapan dengan 
permulaan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan oleh wet (Undang-Undang). 
Persoalan tersebut diserahkan kepada Hakim dan ilmu pengetahuan  untuk 
melaksanakan azas yang ditetapkan dalam undang-undang. (Sudarto dan 
Wonosutatno, 1987: 17).. 
 
 KUHP tidak ada menentukan kapankah suatu perbuatan itu merupakan 
perbuatan persiapan dari kapankah perbuatan itu telah merupakan permulaan 
pelaksanaan yang merupakan unsur dari delik percobaan. 
 
 Hal senada juga dikemukakan oleh van Hattum, menurutnya sangat sulit 
untuk dapat memastikan batas-batas antara tindakan-tindakan persiapan 
(perbuatan persiapan) dengan tindakan-tindakan pelaksanaan, sebab undang-
undang sendiri tidak dapat dijadikan pedoman (Lamintang, 1985: 531). 
 
 Memang sulit untuk menentukan perbuatan mana dari serangkaian 
perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. 
Berdasarkan MvT hanya dapat diketahui bahwa permulaan pelaksanaan (begin 
van uitvoering) berada di antara tindakan-tindakan persiapan 
(uitvoeringshandelingen). Oleh karena itu untuk menentukan perbuatan mana 
dari serangkaian perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan didasarkan 
kepada 2 teori yaitu teori subjektif (subjectieve pogingstheori) dan teori objektif 
(objectieve pogingstheori). 
 
 Para penganut paham subjektif menggunakan subjek dari si pelaksanaan 
sebagai dasar dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu percobaan, 
dan oleh karena itulah paham mereka itu disebut sebagai paham subjektif, 
sedangkan para penganut paham objektif menggunakan tindakan dari si pelaku 
sebagai dasar peninjauan, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut 
sebagai paham objektif.  
 
 Menurut para penganut paham objektif seseorang yang melakukan 
percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum karena 
tindakannya bersifat membahayakan kepentingan hukum, sedangkan menurut  
penganut paham subjektif seseorang yang melakukan percobaan  untuk 
melakukan suatu kejahatan itu pantas dihukum karena  orang tersebut telah 
menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang 
bersifat berbahaya (Lamintang, 1984: 531-532). 
 
 Sejak seorang mempunyai niat hingga sampai kepada tujuan perbuatan 
yang dikehendaki, biasanya terdiri dari suatu rangkaian perbuatan.  Dalam hal ini 
Loebby Loqman memberikan contoh sebagai berikut: 
A mempunyai niat untuk membunuh B. untuk itu ada serangkaian 
perbuatan yang dilakukannya, yakni: 
1. A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol; 
2. A mengisi pistol dengan peluru; 
3. A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B; 
4. A membidikkan pistol ke arah B; 
5. A menarik pelatuk pistol, akan tetapi tembakannya meleset sehingga B 
masih hidup. 
Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah yang 
dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan A 
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai 
?2002 digitized by USU digital library 
8
 
permulaan pelaksanaan? Apabila melihat  niatnya, memang perbuatan A 
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol adalah dalam kaitan pelaksanaan 
niatnya untuk membunuh B. Akan tetapi apakah A pergi ke rumah C sudah 
dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan ? 
 
Contoh lain. P adalah seorang pegawai suatu kantor pos. P berkehendak 
untuk mencuri pos paket. Untuk itu sewaktu teman-teman sekerjanya 
pulang P menyelinap dan bersembunyi di kamar kecil. Akan tetapi ternyata 
kepala kantor P masih belum pulang dan tertangkaplah P. Dari kasus P 
tersebut, apakah masuknya P ke kamar kecil sudah dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan? (1996: 18-19).  
 
Teori Subjektif  
 Teori ini didasarkan kepada niat seseorang, sebagaimana yang disebutkan 
dalam Pasal 53 KUHP bahwa ?...apabila niat itu telah terwujud dari adanya 
permulaan pelaksanaan ... Jadi dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan adalah 
semua perbuatan yang merupakan perwujudan dari niat pelaku. Apabila suatu 
perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya, maka perbuatan tersebut 
sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan. Pada contoh pertama, A pergi 
ke rumah C untuk meminjam pistol, sudah merupakan permulaan dari niatnya 
yakni ingin membunuh B. Sehingga A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol 
sudah dianggap sebagai permulaan pelaksanaan  melakukan percobaan 
membunuh B. Demikian juga dalam contoh kedua. P masuk ke kamar kecil sudah 
dianggap sebagai permulaan pelaksanaan melakukan percobaan pencurian. 
Karena dengan masuknya P ke kamar kecil sudah merupakan permulaan 
pelaksanaan niatnya (Loqman, 1996: 19). 
 
 Menurut teori subjektif dasar patut dipidananya percobaan (strafbare 
poging) itu terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap 
bathin itulah yang merupakan pegangan bagi teori ini (Sudarto dan Wonosutatno, 
1987: 17). 
 Ajaran yang subjektif  lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan 
dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat dan karena itu 
bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan 
perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat 
secara psikis sanggup melakukannya (Sahetapy, 1995: 215). 
 
 Menurut van Hammel tidak tepat pemikiran mereka yang mensyaratkan 
adanya suatu rectstreeks verband  atau suatu hubungan yang langsung antara 
tindakan dengan akibat, dimana orang menganggap yang dapat dihukum itu 
hanyalah tindakan-tindakan yang menurut sifatnya secara langsung  dapat 
menimbulkan akibat (Lamintang, 1984: 534). 
 
 Menurut van Hammel aliran subjektiflah yang benar. Bukan saja karena 
aliran ini sesuai dengan nieuwere strafrechtsleer  (ajaran hukum pidana yang 
lebih baru) yang bertujuan untuk memberantas kejahatan sampai kepada 
akarnya, yaitu manusia yang berwatak jahat (demisdadige mens) akan tetapi 
juga karena dalam mengenakan pidana menurut rumus umum (algemene 
formule) sebagaimana halnya dalam percobaan, unsur kesengajaan (niat) itulah 
unsur satu-satunya yang memberi pegangan kepada kita. Oleh karena 
kesengajaan (niat) dalam perbuatan percobaan adalah lebih jauh arahnya dari 
pada bahaya yang ditimbulkan pada suatu ketika tetapi kemudian menjadi hilang. 
Dan juga justru dengan adanya kesengajaan (niat) itu perbuatan terdakwa lalu 
?2002 digitized by USU digital library 
9
 
menjadi berbahaya, padahal kalau perbuatan dipandang tersendiri dan terlepas 
dari hal- ikhwal yang mungkin akan timbul sama sekali tidak berbahaya. Apabila 
dengan  kesengajaan untuk membunuh orang mengarahkan senapan kepada 
sasaran, padahal pelatuk senapan tidak terpasang, maka perbuatan tersebut 
hanya bersifat berbahaya karena perbuatan dilakukan oleh orang yang 
mempunyai kesengajaan (niat) tadi. Maka menurut van Hammel jika ditinjau dari 
sudut niat si pembuat, dikatakan ada perbuatan permulaan pelaksanaan jika dari 
apa yang telah dilakukan sudah ternyata kepastiannya niat untuk melakukan 
kejahatan tadi (Moelyatno, 1985 : 22). 
 
 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori subjektif 
dapat dipidananya percobaan, karena niat seseorang  untuk melakukan kejahatan 
itu dianggap sudah membahayakan kepentingan hukum. Sehingga niat untuk 
melakukan kejahatan yang telah diwujudkan menjadi suatu perbuatan dianggap 
telah membahayakan. 
 
Teori Objektif  
 Disebut teori objektif karena mencari sandaran pada objek dari tindak 
pidana, yaitu perbuatan.. Menurut teori ini seseorang yang melakukan suatu 
percobaan itu dapat dihukum karena tindakannya bersifat membahayakan 
kepentingan hukum. 
 
 Ajaran yang objektif  menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam 
Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan dan karena 
itu bertolak dari berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan menamakan 
perbuatan pelaksanaan: tiap perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum 
(Sahetapy, 1995 : 216). 
 
 Jika mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby Loqman di 
atas, dari contoh pertama peristiwa yang menjadi tujuan A adalah membunuh B. 
A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan agar 
orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling mungkin dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan dalam teori objektif dalam kasus ini adalah pada saat A 
menarik pelatuk pistol untuk membunuh B. Demikian pula pada kasus P. P 
menyelinap ke kamar kecil bukanlah permulaan pelaksanaan  terhadap perbuatan 
yang diniatkan. Perbuatan yang diniatkan adalah mencuri. Unsur utama dari 
mencuri adalah mengambil, yaitu apabila seseorang telah menjulurkan tangannya 
untuk mengangkat/memindahkan suatu barang. Oleh karena itu menurut teori 
objektif P dianggap belum melakukan perbuatan yang dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan (Loqman, 1996: 20-21). 
 
 Menurut Simons, pendapat dari para penganut paham subjektif itu adalah 
tidak tepat, dengan alasan bahwa paham tersebut telah mengabaikan syarat 
tentang harus adanya suatu  permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan 
dan telah membuat segala sesuatunya menjadi tergantung pandangan yang 
bersifat subjektif  hakim (Lamintang, 1984 : 534). 
 
 Pendapat Hoge Raad tentang hal permulaan pelaksanaan (begin van 
uitvoering) ini dapat dilihat di arrest tanggal 7 Me 1906, W. 8372, yang 
menyatakan bahwa perkataan begin van uitvoering? di dalam Pasal 53 ayat (1) 
KUHP itu terutama harus dihubungkan dengan uitvoering van hetmisdrijf 
(pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri), sehingga perkataan ?permulaan 
?2002 digitized by USU digital library 
10
 
pelaksanaan? itu terutama harus diartikan sebagai ?permulaan pelaksanaan dari 
perbuatan untuk melakukan kejahatan?. (Lamintang, 1984 : 539). 
 
 Sebagian besar dari arrest Hoge Raad yang berkenaan dengan percobaan 
yang dapat dihukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP itu 
sangat dipengaruhi oleh pendapat Simons. Ajaran-ajaran Simons mengenai 
percobaan yang dapat dihukum yang mempunyai pengaruh cukup signifikan 
terhadap pandangan (pendapat) para anggota Hoge Raad antara lain : 
a. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang 
telah dirumuskan secara formil, suatu permulaan pelaksanaan untuk 
melakukan suatu kejahatan dianggap telah terjadi yaitu segera setelah 
kejahatan tersebut mulai dilakukan oleh pelakunya. Ajaran ini telah dianut 
oleh Hoge Raad dalam arrest tanggal 8 Maret 1920, N.J. 1920 halaman 458, 
W. 10554 yang menyatakan antara lain: perbuatan menawarkan untuk dibeli 
dan perbuatan menghitung uang kertas yang telah dipalsukan di depan orang 
lain dengan maksud untuk melakukan suatu pemalsuan, menurut arrest ini 
merupakan suatu permulaan dari tindakan pemalsuan yang dapat dihukum. 
b. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang 
telah dirumuskan secara materil, suatu percobaan  yang dapat dihukum 
dianggap telah terjadi yaitu segera setelah tindakan yang dilakukan oleh 
pelakunya itu, menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang 
terlarang oleh undang-undang, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan  
suatu tindakan yang lain. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu antara 
lain dalam arrest yang terkenal tanggal 19 Maret 1934, N.J. 1934 halaman 
450, W. 12731, yang dikenal dengan Eindhovense Brandstichting-arrest atau 
arrest pembakaran rumah di kota Endhoven. 
c. Ajaran yang mengatakan bahwa pada delik-delik yang oleh undang-undang 
telah ditentukan bahwa untuk melakukan delik-delik tersebut  harus 
dipergunakan alat atau cara-cara tertentu, ataupun dimana penggunaan alat 
atau cara-cara semacam itu oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai 
unsur yang memberatkan hukuman, maka suatu percobaan yang dapat 
dihukum untuk melakukan delik-delik seperti itu dianggap telah terjadi, yaitu 
segera setelah pelakunya menggunakan alat atau cara yang bersangkutan 
untuk melakukan kejahatannya. Ajaran ini telah dianut oleh Hoge Raad yaitu 
sebagaimana yang dapat kita lihat antara lain di dalam arrest-arrestnya 
masing-masing: tanggal 12 Januari 1891, W. 5990, tanggal 4 April 1932, N.J. 
1932 halaman 786, W. 12515, tanggal 9 Juni 1941, N.J. 1941 No. 883 yang 
pada dasarnya mengatakan bahwa: pembongkaran, perusakan, atau 
pembukaan dengan kunci-kunci palsu dan pemanjatan itu merupakan 
permulaan pelaksanaan kejahatan pencurian dengan pemberatan.  
Dan di dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 20 Januari 1919, N.J. 1919 
halaman 269, W. 10389, dan tanggal 19 Mei 1919, N.J. 1919 halaman 634, W. 
10424 yang pada dasarnya menyatakan bahwa: pencurian dengan perusakan itu 
merupakan suatu kejahatan. Dengan merusak penutup sebuah rumah, dimulailah 
sudah pelaksanaan pencurian tersebut. Dalam hal ini telah terjadi suatu 
percobaan untuk melakukan suatu pencurian dengan perusakan (Lamintang, 
1984: 542). 
 Loebby Loqman dalam bukunya Percobaan, Penyertaan dan Gabungan 
Tindak Pidana memberikan beberapa contoh kasus tentang penentuan permulaan 
pelaksanaan menurut perspektif teori objektif : 
a. Eindhovense Brandstichting arrest, kasus posisinya sebagai berikut: 
A dan B bersepakat dengan C untuk membakar rumah C guna 
mendapatkan santunan asuransi. Sementara C bepergian ke luar kota, 
?2002 digitized by USU digital library 
11
 
A dan B membuat sumbu panjang dari kain-kain bekas yang telah 
disiram bensin dan menaruhnya di seluruh rumah. Sumbu tersebut 
dihubungkan dengan  pemantik kompor gas yang disambung dengan 
tali sedemikian rupa, sehingga nantinya hanya dengan menarik tali dari 
luar rumah, akan terjadi api yang akan membakar sumbu yang telah  
dipersiapkan. Sementara menunggu malam hari untuk 
melaksanakannya, A dan B meninggalkan rumah tersebut. Sementara A 
dan B meninggalkan rumah itu, par tetangga yang melewati rumah 
tersebut mencium bau bensin yang menusuk hidung, sehingga mereka 
curiga dan memberitahukan kepada polisi. Pada saat A dan B datang 
untuk melaksanakan pembakaran, dilihatnya telah banyak orang 
sehingga mereka melarikan diri. Namun akhirnya perkara tersebut 
sampai ke pengadilan dengan tuduhan mencoba melakukan 
pembakaran. 
 
 Jika diperinci, perbuatan-perbuatan terdakwa dapat diperinci 
menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah perbuatan membuat rumah 
siap bakar, sedangkan tahap berikutnya menarik tali pemantik kompor 
gas untuk pembakaran rumah tersebut. Persoalan dalam kasus ini 
adalah apakah telah ada perbuatan yang dianggap sebagai permulaan 
pelaksanaan, ataukah baru merupakan persiapan pelaksanaan untuk 
melakukan pembakaran rumah. 
 
 Ternyata Hoge Raad tidak memasukkan kasus ini sebagai percobaan 
melakukan pembakaran. Jadi bukan merupakan percobaan. MvT 
menyerahkan penentuan perbuatan yang merupakan permulaan 
pelaksanaan kepada praktek, sehingga dalam hal ini Hoge Raad 
dimungkinkan untuk mencari pertimbangan dalam tiap kasus tentang 
apa yang dimaksud dengan permulaan pelaksanaan dalam suatu 
percobaan. 
 
 Adapun pertimbangan Hoge Raad bahwa kasus tersebut dianggap 
bukan sebagai permulaan pelaksanaan adalah : 
(1) Perbuatan yang telah dilakukan A dan B bukan hanya merupakan 
kemungkinan untuk pembakaran rumah tersebut, ada kemungkinan 
untuk perbuatan-perbuatan lain kecuali pembakaran rumah. 
(2) Perbuatan A dan B lebih bersifat sebagai perbuatan persiapan 
pelaksanaan, dan bukan permulaan pelaksanaan seperti yang 
dimaksud dalam Pasal 53 KUHP. 
(3) Perbuatan yang dimaksud  sebagai permulaan pelaksanaan 
seharusnya merupakan suatu perbuatan yang tidak diperlukan lagi 
adanya suatu tindakan lanjutan dari pelakunya.  Tindakan menarik 
tali sambungan dari pemantik kompor gas, dianggap merupakan 
tindak lanjut dari pelaku, yang semestinya tindakan menarik tali 
tersebut tidak perlu ada dalam perbuatan permulaan pelaksanaan 
(dalam hal ini permulaan pelaksanaan dianggap ada jika A atau B 
menarik tali tersebut). 
(4) Mungkin saja dalam kasus ini terjadi hal-hal yang tidak terduga 
sehingga pembakaran tidak akan terjadi, umpamanya : 
- Pemantik kompor gas menjadi macet; 
- Sumbu yang diberi bensin tidak mau menyala; 
- Api tidak merambat, meskipun sebagian sumbu telah menyala; 
?2002 digitized by USU digital library 
12
 
- Ada yang menepiskan tangan sewaktu tangan itu sedang akan 
menarik tali. 
 
 Apabila diperhatikan ternyata dalam kasus di atas Hoge Raad lebih 
menggunakan teori objektif, dengan menyebutkan alasan yang pertama 
(1) di atas. Di samping itu juga menyebutkan bahwa apa yang 
dilakukan A dan B merupakan persiapan pelaksanaan (2) seperti yang 
dianut dalam teori objektif. Alasan (3) dan (4) Hoge Raad malah 
memberikan contoh-contoh tentang  kapan suatu perbuatan dianggap 
sebagai permulaan pelaksanaan. 
 
b. Hammer Arrest  (Kasus Palu) yaitu putusan Hoge Raad tanggal 21 Mei 
1951, N.J. 1951, 480 yang kasus posisinya sebagai berikut: 
A seorang pria yang menjalin hubungan asmara dengan B seorang 
wanita yang telah bersuami, yakni C. A dan B bersepakat untuk 
membunuh C dengan jalan akan memukul C pada waktu C tidur, dan 
setelah C  pingsan akan menempatkannya di dapur dan akan dibuka 
saluran gas di dapur, sehingga C akan meninggal karena keracunan 
gas. Pada suatu malam yang telah ditentukan, B memberikan kunci 
rumah kepada A sehingga A dapat masuk ke rumah B dan selanjutnya 
masuk ke kamar tidur, A menghempaskan palu ke arah kepala namun 
tidak mengenai kepala C, karena kebetulan C menggeser 
badannya/kepalanya pada saat yang tepat. C terbangun dan melakukan 
perlawanan. A memukul C beberapa kali dan melarikan diri dari rumah 
tersebut. 
 Di tingkat kasasi terdakwa mengutarakan bahwa, pertimbangan  
Pengadilan Tinggi yang menyatakan perbuatan A dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan dalam suatu niat untuk pembunuhan adalah tidak 
tepat. Karena dianggap rencana pembunuhannya adalah dengan cara 
menempatkan korban di dapur dan saluran gas akan dibuka agar korban 
meninggal karena keracunan gas, bukan dengan memukul palu. 
 
 Dalam perkara tersebut Hoge Raad ternyata memutuskan bahwa 
apa yang dilakukan terdakwa telah dianggap sebagai permulaan 
pelaksanaan. Apabila seseorang dengan pertimbangan yang masak dan 
dengan tenang sebelumnya untuk melakukan pembunuhan, apalagi 
sebelumnya telah dipersiapkan pemukul dan masuk ke rumah korban 
dengan kunci yang telah dipersiapkan sebelumnya, lalu masuk ke kamar 
tidur, hal itu sudah merupakan perwujudan dari pembunuhan yang diniati. 
 
 Telah direncanakan sebelumnya ada 2 tahap dalam melaksanakan 
pembunuhan. Yang pertama adalah memukul korban hingga pingsan, 
tahap kedua adalah menempatkan korban di dapur, membuka selang gas, 
sehingga korban akan meninggal karena keracunan gas. Dengan demikian 
tahap pertama sudah dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan 
dari perbuatan yang diniati. 
 
 Apabila dibandingkan antara putusan perkara Eindhovense Brandstichting 
dan Kasus Palu, terhadap kedua-duanya dipakai teori objektif. Namun dalam 
perkara Eindhovense Brandstichting perbuatan tahap pertama yaitu perbuatan 
rumah siap dibakar dianggap belum merupakan perbuatan yang dianggap 
permulaan pelaksanaan. Sedangkan dalam kasus Palu perbuatan tahap pertama 
?2002 digitized by USU digital library 
13
 
yaitu  pemukulan dengan palu agar korban jatuh pingsan, dianggap telah 
merupakan perwujudan dari perbuatan yang diniatinya. 
 
 Dengan demikian Hoge Raad dalam kedua putusannya itu telah memakai 
teori objektif, meskipun dengan menggunakan rumusan yang disesuaikan dengan 
keadaan yang konkrit (Loqman, 1996 : 20-29). 
 
 Jika perbandingan kasus Eindhovense Brandstichting dan kasus palu ini 
digambarkan dalam suatu bagan pertahapan akan terlihat seperti berikut ini 
(Sahetapy, 1995 : 221): 
 
Putusan Tahap I Tahap II 
Pembakaran 1934 Membuat rumah siap 
bakar (belum) 
 Menarik tali 
Kasus Palu 1951 Memukul pingsan 
dengan martil 
Meracuni di dapur. 
Keterangan : 
 
Hoge Raad memutuskan : 
- dalam tahun 1934: tahap I belum permulaan pelaksanaan 
- dalam tahun 1951: tahap I sudah permulaan pelaksanaan. 
 Khusus terhadap arrest Hoge Raad dalam Eindhovense Brandstichting, 
mendapat tantangan dari beberapa penulis. Menurut van Bemmelen berdasarkan 
putusan Hoge Raad terhadap kasus Eindhovense Brandstichting itu, tidak dapat 
diragukan lagi bahwa objectieve pogingsleer  (paham objektif dan paham 
subjektif) telah dilaksanakan secara menyimpang sehingga keluar dari batas-
batas semestinya. Walaupun cara memandang suatu masalah oleh kedua paham 
(paham objektif dan paham subjektif) itu berbeda, tetapi dalam memecahkan 
masalah apakah seseorang dapat dihukum atau tidak seharusnya jawabannya 
mengarah kepada hasil yang sama (Lamintang, 1984: 543). 
 
 Dalam perkembangan selanjutnya Hoge Raad telah memperlunak syarat 
zonder enig nader ingrijpen van de dader  (tanpa suatu tindakan yang lain dari si 
pelaku), dalam peristiwa-peristiwa pembakaran  seperti yang dimaksud di atas, 
yaitu dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan mencoba menarik ujung tali 
semacam itu dapat dianggap sebagai suatu begin van uitvoeringshandelingen 
(permulaan pelaksanaan) yang telah dapat dihukum (Lamintang, 1984: 544). 
 
 Loebby Loqman dalam hal ini juga menyatakan bahwa dalam 
perkembangan yang terjadi di Belanda, ternyata didapati teori objektif yang 
diperlunak (gematigd objectieveleer), yakni dalam kasus Cito, yang kasus 
posisinya adalah sebagai berikut: 
Dua orang bertopeng dan bersenjata dengan membawa tas menuju ke Biro 
Penyiaran Cito dengan maksud melakukan perampokan. Mereka 
membunyikan bel akan tetapi pintu tidak dibuka. Pada saat itu mereka 
ditangkap. 
Dalam putusan Hoge Raad bulan Oktober 1978, N.J., 1979-52 memberikan 
pertimbangan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan permulaan 
pelaksanaan. Karena menurut bentuk perwujudannya harus dipandang 
sebagai diarahkan untuk menyelesaikan  kejahatan pencurian dengan 
kekerasan. Jadi dalam hal ini telah terjadi percobaan yang dapat dipidana 
?2002 digitized by USU digital library 
14
 
yaitu kejahatan dari Pasal 365 KUHP, pencurian dengan kekerasan (1996: 
30). 
 Van Veen memberikan catatan tentang putusan ini, bahwa pada delik yang 
dikwalifikasikan lebih banyak terdapat permulaan pelaksanaan  daripada delik 
pokoknya. Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya, dengan kata lain 
bersenjata, bertopeng dan membunyikan bel adalah permulaan pelaksanaan dari 
suatu kejahatan pencurian dengan kekerasan, tetapi jika tidak bersenjata, tidak 
bertopeng dan membunyikan bel dianggap bukan sebagai permulaan pelaksanaan 
dari pencurian biasa . Menurut bentuk perwujudannya dari luar mengebel 
demikian belum tentu tertuju pada penyelesaian kejahatan  (Sahetapy, 1995: 
226). 
 Menurut van Bemmelen, kedua metode baik metode objektif maupun 
metode subjektif, jika diberlakukan secara terlalu kaku akan menjurus kepada 
ketidakbenaran. Karena paham subjektif itu telah mengartikan hubungan kausal 
secara terlalu luas, sehingga seseorang telah dapat dihukum sebagai seorang 
pelaku atau dalam masalah poging sebagai orang yang telah melakukan 
percobaan. Padahal hubungan antara tindakan mereka dengan akibat akhirnya itu 
terlalu jauh atau tindakan mereka itu tidak mendatangkan bahaya yang begitu 
besar untuk dapat menimbulkan suatu akibat itu. Sebaliknya paham objektif 
murni tidak akan menghukum mereka yang telah menunjukkan adanya sifat 
berbahaya dan telah diwujudkan dengan tindakan-tindakan nyata. Dalam hal ini 
van Bemmelen memberikan contoh seperti kasus Eindhovense Brandstichting 
(Lamintang, 1984 : 543). 
 
 Sebagai contoh umpamanya A ingin membunuh B, ternyata A dan B ini 
berada di kota yang berbeda. Untuk melakukan pembunuhan A harus membeli 
karcis kereta api menuju ke kota dimana B bertempat tinggal. Dalam hal ini 
apakah perbuatan A membeli karcis kereta api sudah dianggap sebagai 
permulaan pelaksanaan? Perbuatan membeli karcis merupakan perbuatan yang 
masih jauh dari kejahatan yang menjadi niat A, yaitu membunuh B, tetapi jelas 
ada hubungannya dengan niat A tersebut (Loqman, 1996: 22). 
 
 Oleh karena itu menurut van Bemmelen, perlu adanya suatu 
tussenopvatting (paham antara) diantara paham subjektif dan paham objektif, 
yang memandang suatu uitvoeringshandelingen (tindakan pelaksanaan) itu 
sebagai tindakan yang mendatangkan bahaya bagi kemungkinan timbulnya akibat 
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Bahaya yang dimaksud itu haruslah 
dianggap telah ada yaitu jika pelakunya telah menciptakan sejumlah keadaan 
yang menurut pengalaman manusia, tanpa masih diperlukan lebih banyak hal 
yang lain, dapat menimbulkan keadaan yang lain lagi. Jika sejumlah keadaan 
telah tercipta, dimana keadaan semacam itu telah menimbulkan suatu bahaya 
bagi kemungkinan timbulnya keadaan yang lain, maka sebenarnya tindakan 
seorang pelaku itu telah mencapai suatu tingkat tertentu dimana tindakannya itu 
telah dapat disebut sebagai suatu uitvoeringshandelingen atau tindakan 
pelaksanaan (Lamintang, 1984: 543-544). 
 
Pandangan Moeljatno tentang Permulaan Pelaksanaan  
 Menurut Moeljatno, suatu perbuatan dianggap sebagai permulaan 
pelaksanaan dari delik yang dituju oleh si pelaku, jika memenuhi tiga syarat. 
Syarat pertama dan kedua diambil dari rumusan percobaan Pasal 53 KUHP, 
sedangkan syarat yang ketiga diambil dari sifat tiap-tiap delik. Adapun syarat-
syarat tersebut adalah : 
?2002 digitized by USU digital library 
15
 
a. Secara objektif apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan 
kepada delik yang dituju. Atau dengan kata lain, harus mengandung 
potensi untuk mewujudkan delik tersebut. 
b. Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan 
lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu, ditujukan atau 
diarahkan kepada delik yang tertentu tadi. 
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan 
yang bersifat melawan hukum (Moeljatno, 1985: 28-29). 
 
 Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa berkenaan dengan ketiga syarat 
tentang permulaan pelaksanaan tersebut perlu dikemukakan catatan-catatan 
sebagai berikut: 
a. Oleh karena delik yang dituju tidak diketahui, lebih dahulu bahkan 
harus ditetapkan, antara lain dengan mengingat perbuatan yang telah 
dilakukan. Maka istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP 
tidak mungkin mempunyai arti yang tetap. 
b. Karenanya juga tidak mungkin dipakai pegangan untuk menentukan, 
apakah sudah ada percobaan yang dapat dipidana atau belum. Untuk 
ini (yaitu untuk menentukan delik yang dituju) diperlukan adanya 
bukti-bukti di luar wet. 
c. Sehubungan dengan ini, meskipun perbuatan yang dilakukan ini 
mungkin dipisahkan dari unsur niat, tapi dalam pada itu jangan lalu 
berpendapat bahwa isinya niat hanya mungkin dibuktikan dari 
perbuatan yang telah dilakukan saja (1985: 29). 
 
 Khusus untuk catatan yang ketiga (c) seperti yang tersebut di atas 
Moeljatno secara khusus mengutip beberapa contoh yang dikemukakan oleh 
Noyon yaitu : 
- Bagaimana dapat dibuktikan seseorang dengan penggunaan nama palsu atau 
tipu daya yang disertai dengan permintaan untuk memberikan suatu benda, 
bahwa orang tersebut juga betul-betul berminat untuk mendapatkan  benda 
tersebut. Mungkin saja ia hanya bermaksud untuk membuktikan bagaimana  
mudahnya orang lain itu mempercayainya. 
- Mengulurkan tangan ke arah barang orang lain, dengan itu saja tidak  
mungkin dibuktikan kehendak untuk mengambil barang tersebut. Apalagi 
mengambil dengan maksud dimiliki secara melawan hukum. 
- Membawa api ke barang yang mudah dibakar, dengan itu saja tidak dapat 
dibuktikan adanya niat untuk membakar barang tersebut. 
- Melukai seseorang tidak mungkin membuktikan adanya niat untuk membunuh 
(Moeljatno, 1985: 30-31). 
 
 Dengan demikian menurut Loebby Loqman, sebenarnya pandangan 
Moeljatno adalah campuran antara kedua teori yakni campuran antara teori 
objektif dan teori subjektif. Hal terpenting bagi Moeljatno adalah sejauhmana 
sifat melawan hukum dari perbuatan yang dipermasalahkan sebagai perbuatan 
permulaan pelaksanaan (Loqman, 1996: 22). 
 
 Suatu hal yang dapat diketahui dalam hal ini bahwa untuk menentukan 
telah adanya suatu perbuatan permulaan pelaksanaan adalah sangat sulit. 
Adanya permulaan pelaksanaan itu tidak dapat diketahui hanya dengan 
mengetahui niat seorang pelaku yang telah terwujud dalam suatu perbuatan 
(tindakan) yang adanya suatu perbuatan (tindakan) yang sedemikian langsung 
(dekat) dengan delik yang akan dituju. Selain kedua hal tersebut perlu kiranya 
?2002 digitized by USU digital library 
16
 
diperhatikan keadaan atau situasi yang terjadi pada saat seorang pelaku itu 
mewujudkan niatnya ke dalam suatu bentuk perbuatan, sehingga perbuatan 
tersebut nantinya dapat disebut sebagai perbuatan permulaan. 
 
2. Permulaan Pelaksanaan Menurut RUU KUHP Nasional  
 Pasal 17 ayat (2)  menyebutkan : 
Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan: 
a. perbuatan melawan hukum; 
b. secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada terjadinya 
tindak pidana; dan  
c. secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan 
itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak pidana. 
 
 Menurut  Penjelasan Pasal 17 RUU KUHP Nasional,  permulaan pelaksanaan 
merupakan perbuatan yang sudah sedemikian rupa berhubungan dengan tindak 
pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai. 
Permulaan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika 
perbuatan yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut 
tidak dipidana. 
 
 Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika : 
a. Secara objektif, apa yang telah dilakukan harus mendekatkan dengan tindak 
pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung 
potensi untuk mewujudkan tindak pidana tersebut: 
b. Secara subjektif, dilihat dari niat pembuat tidak diragukan lagi perbuatan yang 
dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana: 
c. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan 
hukum. 
 Untuk dapat dikatakan bahwa telah ada permulaan pelaksanaan pasal 17 
RUU KUHP Nasional pada dasarnya telah mengabsorbsi pandangan Moeljatno 
tentang masalah permulaan pelaksanaan. Hanya saja terhadap pandangan 
Moeljatno tersebut dilakukan penyempurnaan bahasa berupa beberapa perubahan 
redaksi yang disesuaikan dengan istilah dan maksud yang terdapat di dalam RUU 
KUHP Nasional.  
 
 Dalam dogmatik hukum pidana istilah ?sifat melawan hukum? tidak selalu 
berarti sama. Ada empat makna yang berbeda tetapi dinamakan sama yaitu: 
a. Sifat melawan hukum umum 
Sifat melawan hukum umum adalah sifat melawan hukum sebagai syarat tak 
tertulis untuk dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, 
dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bersifat melawan 
hukum, yang dalam hal ini berarti bertentangan dengan hukum, tidak adil. 
Umumnya terjadi jika perbuatannya bersifat melawan hukum formal dan tidak  
ada alasan pembenar. 
Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian dari 
undang-undang) merupakan syarat umum untuk dapat dipidana terdapat di 
dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: Perbuatan pidana adalah 
kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan 
hukum dan dapat dicela (Sahetapy, 1995: 43). 
 
b. Sifat melawan hukum khusus 
Adakalanya kata ?bersifat melawan hukum? tercantum secara tertulis dalam 
rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum yang merupakan syarat tertulis 
?2002 digitized by USU digital library 
17
 
untuk dapat dipidana. Sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari 
rumusan delik dinamakan: sifat melawan hukum khusus. 
Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari 
undang-undang) mempunyai arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik. Sifat 
melawan hukum ini menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan 
suatu faset dari sifat melawan hukum umum. Ini harus ditafsirkan  menurut 
konteks sosialnya (Sahetapy, 1995: 39).. 
 
c. Sifat melawan hukum formal  
Sifat melawan hukum formal berarti semua bagian yang  tertulis dari rumusan 
delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana). Sifat 
melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik dari  undang-
undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat 
dipidananya perbuatan bersumber pada asas legalitas (Sahetapy, 1995: 39). 
 
d. Sifat melawan hukum materiel  
Sifat melawan hukum materiel berarti melanggar atau membahayakan 
kepentingan  hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang 
dalam rumusan delik tertentu. Sifat melawan hukum materiel berarti bahwa 
karena perbuatan itu, kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik 
tertentu telah dilanggar (Sahetapy, 1995: 39). 
 
C. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan 
karena kehendak pelaku 
 
1.  Menurut KUHP   
 Syarat  ketiga agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan percobaan 
menurut KUHP adalah pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata 
disebabkan karena kehendak pelaku. 
 Dalam hal ini tidak merupakan suatu percobaan jika seseorang yang 
semula telah berkeinginan untuk melakukan suatu tindak pidana dan niatnya itu 
telah diwujudkan dalam suatu bentuk perbuatan permulaan pelaksanaan, tetapi 
disebabkan oleh sesuatu  hal yang timbul dari dalam diri orang tersebut yang 
secara suka rela mengundurkan diri dari niatnya semula. Tidak terlaksananya 
tindak pidana yang hendak dilakukannya itu bukan karena adanya faktor keadaan 
dari luar diri orang tersebut, yang memaksanya untuk mengurungkan niatnya 
semula. 
 Dalam hal ini ada kesulitan untuk menentukan apakah memang benar 
tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari  kehendak pelaku 
dengan sukarela. Suatu hal yang dapat dilakukan dalam pembuktian adalah 
dengan menentukan keadaan apa yang menyebabkan tidak selesainya perbuatan 
itu. Apakah tidak selesainya perbuatan itu karena keadaan yang terdapat di 
dalam diri si pelaku yang dengan sukarela mengurungkan niatnya itu atau karena 
ada faktor lain di luar dari dalam diri si pelaku yang mungkin menurut dugaan 
atau perkiraannya dapat membahayakan dirinya sehingga memaksanya untuk 
mengurungkan niatnya itu. 
 
 Loebby Loqman (1996: 31) memberikan contoh sebagai berikut:  
a. Putusan Pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N.J. 1952 No. 670 
tentang  percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. 
A pada tanggal 5 Mei 1951 ingin membunuh B. Untuk itu  A dengan 
menarik pisau yang telah dipersiapkan memasuki ruangan dimana B 
pada waktu itu berada. Dengan berjalan membungkuk dan dengan 
?2002 digitized by USU digital library 
18
 
pisau di tangan A menuju ke arah B berada. Akan tetapi perbuatan A 
sempat ditahan oleh beberapa orang yang berada di dalam ruangan, 
sedangkan B lari meninggalkan ruangan tersebut. 
Terdakwa dalam kasus di atas dituduh melakukan percobaan 
pembunuhan, dan subsidair melakukan percobaan penganiayaan berat. 
Dalam surat dakwaan dikatakan bahwa tidak selesainya pembunuhan 
atau penganiayaan berat oleh karena ?setidak-tidaknya hanya karena 
satu atau lebih keadaan di luar kehendaknya?. 
Terdakwa dalam pembelaannya mengatakan sebenarnya orang yang 
hadir pada saat perbuatan dilakukan bukanlah sebagai penyebab tidak 
terlaksananya kejahatan yang semula dikehendakinya. Akan tetapi 
yang menyebabkan tidak selesainya kejahatan itu karena A melihat 
adanya perubahan wajah B pada saat itu dan karena jeritan orang 
banyak  sehingga A tidak ?tega? meneruskan perbuatan yang 
dikehendaki  semula. 
Meskipun demikian Pengadilan Arnhem dalam pertimbangannya 
memberikan putusan bahwa kasus tersebut tetap sebagai percobaan. 
Pengunduran diri dalam kasus di atas meskipun ada faktor yang datang 
dari dalam diri pelaku, akan tetapi kadang-kadang dari luar 
memaksanya untuk mengundurkan diri. 
 
b. Adakalanya bahwa seseorang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk 
mengundurkan   diri dari niatnya secara sukarela. Percobaan seperti ini 
disebut sebagai voltooide artinya meskipun seseorang telah mulai 
melakukan permulaan pelaksanaan, akan tetapi timbul niatnya untuk 
secara sukarela mengundurkan diri dari kehendak semula, namun 
ternyata hal tersebut tidak dapat lagi dilakukan. 
Sebagai contoh: 
Seseorang dalam suatu pemeriksaan di pengadilan sedang memberikan 
keterangannya. Karena dianggap memberikan kesaksian yang tidak 
benar, Hakim memperingatkan dapat dipidananya orang yang 
memberikan keterangan tidak benar karena delik ?kesaksian palsu?. 
Dalam hal demikian dianggap orang tersebut telah melakukan delik. 
Yakni delik kesaksian palsu terhadap keterangan sebelumnya yang 
telah diberikan dalam sidang itu. Meskipun dikaitkan dengan 
percobaan, sebenarnya orang tersebut ingin menarik diri secara 
sukarela terhadap perbuatan memberikan keterangan yang tidak benar 
di depan sidang pengadilan. 
Putusan Hoge Raad tahun 1889 dalam menghadapi kasus seperti di 
atas, dianggap sebagai pengunduran secara sukarela. Jadi dianggap 
bukan merupakan percobaan, karena dengan sukarela orang tersebut 
menarik kembali keterangan yang tidak benar. 
Akan tetapi melihat putusan Hoge Raad tahun 1952 memutuskan 
bahwa telah melakukan suatu delik selesai (delik kesaksian palsu) 
terhadap seseorang yang menarik kembali keterangannya setelah 
penundaan sidang. 
 
c. Di samping peristiwa yang diuraikan di atas terdapat pula suatu 
keadaan seorang yang melakukan suatu percobaan kejahatan, 
sementara itu telah terjadi delik lain yang telah selesai. Peristiwa ini 
disebut dengan guequalificeerde poging  (percobaan yang 
dikwalifikasi).  
Sebagai contoh : 
?2002 digitized by USU digital library 
19
 
Seorang yang  berniat melakukan pencurian terhadap barang-barang 
dalam sebuah rumah. Untuk itu orang tersebut  telah memasuki 
halaman rumah tersebut. Akan tetapi sebelum memasuki rumah sudah 
tertangkap. Dalam hal ini orang tersebut disamping dianggap 
melakukan percobaan pencurian (jika dilihat dari teori subjektif) juga 
telah melakukan delik yang selesai. Yakni delik memasuki halaman 
tanpa izin (Huisvredebruik)  seperti yang diatur dalam Pasal 167 KUHP. 
 
 Menurut Barda Nawawi Arief tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang 
dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai 
berikut: 
a. Adanya penghalang fisik. 
Contoh: tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya 
disentakkan orang sehingga tembakan menyimpang atau pistolnya 
terlepas. 
Termasuk dalam pengertian ini ialah jika ada kerusakan pada alat yang 
digunakan misal pelurunya macet / tidak meletus, bom waktu yang 
jamnya rusak. 
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak  selesainya itu 
disebabkan karena  akan adanya penghalang fisik. 
Contoh: takut segera ditangkap karena gerak-geriknya untuk mencuri 
telah diketahui oleh orang lain. 
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor / keadaan-
keadaan khusus pada objek yang menjadi sasaran. 
Contoh: Daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak 
mati atau yang tertembak bagian yang tidak membahayakan; barang 
yang akan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri telah berusaha 
mengangkatnya sekuat tenaga (Arief, 1984: 15). 
 
 Jika tidak selesainya perbuatan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, 
maka dapat dikatakan bahwa ada pengunduran diri secara sukarela. Sering 
dirumuskan bahwa ada pengunduran diri sukarela, jika menurut pandangannya, 
ia masih dapat meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya. 
 
 Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri secara teori dapat 
dibedakan antara : 
a. Pengunduran diri secara sukarela (rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan 
perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang 
bersangkutan; dan 
b. Penyesalan (tatiger reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan 
sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya 
akibat mutlak untuk delik tersebut. Misal: orang memberi racun pada 
minuman si korban, tetapi setelah diminumnya ia segera memberikan 
obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal (Arief, 
1984: 16). 
 
 Adapun maksud dicantumkannya syarat pengunduran  secara sukarela 
menurut Memori Penjelasan (Memorie van Toelichting) tentang pembentukan 
Pasal 53 ayat (1) adalah untuk : 
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya 
secara sukarela tidak dapat dihukum.  Apabila ia dapat membuktikan 
?2002 digitized by USU digital library 
20
 
bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk 
membatalkan niatnya yang jahat; dan 
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling 
pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang 
berlangsung (Lamintang, 1984:  545). 
 
 Adapun maksud dicantumkan syarat pengunduran secara sukarela menurut 
Memori Penjelasan (Memorie Van Toelichting) tentang pembentukan Pasal 53 ayat 
(1) adalah: 
a. Memberikan jaminan bahwa seseorang yang membatalkan niatnya 
secara sukarela tidak dapat dihukum, apabila ia dapat membuktikan 
bahwa pada waktunya yang tepat ia masih mempunyai keinginan untuk 
membatalkan niatnya yang jahat; dan 
b. Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling 
pasti untuk menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang 
berlangsung (Lamintang, 1984: 545).   
 Di dalam beberapa literatur yang membahas tentang percobaan ada suatu 
istilah yang disebut dengan Ondeugelijke Poging. 
 
 Ondeugdelijke poging adalah suatu perbuatan meskipun telah ada 
perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena 
sesuatu hal, bagaimana perbuatan yang diniatkan itu tidak mungkin akan 
terlaksana. Dengan kata lain suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan 
tetapi melihat sifat dari peristiwa itu, tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang 
diniatkan akan terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35). 
 
 Ondeug-delijke Poging (percobaan tidak memadai) ini timbul sehubungan 
dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak 
selesai atau akibat yang terlarang menurut undang-undang  tidak timbul (Arief, 
1984:18).  
 Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, 
pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua 
objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan  itu ada 2 
macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara 
nisbi (relatif). 
 Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai 
berikut: 
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat) 
 
a. Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak 
Contoh : 
A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada 
saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. 
Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam 
minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir. 
b. Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi 
Contoh : 
Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum 
ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A 
tetap hidup.  
 
 
?2002 digitized by USU digital library 
21
 
2. Ketidaksempurnaan sasaran (objek) 
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak  
Contoh : 
A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B 
dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai 
ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B 
dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat. 
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi  
Contoh : 
A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, 
sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi anti 
peluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, 
meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru 
B tidak mati. 
 
 Mengenai percobaan yang tidak  mampu karena objeknya, MvT 
mengemukakan : 
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat 
percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II 
KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan 
adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada 
objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan 
(Arief, 1984: 18). 
 
 Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan 
antara : 
a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul 
delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan. Mr.Karni 
memberi contoh : meracuni dengan air kelapa.  
b. Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai 
karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan 
perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju 
itu berada. 
 
      Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan. 
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif 
dapat dilihat dari 2 segi: 
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan. 
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19). 
 
Hal penting untuk diketahui adalah apakah dengan tidak sempurnanya alat 
ataupun objek, dapat dianggap telah terjadi suatu percobaan. Jika dilihat dari 
syarat-syarat terjadinya suatu percobaan maka pelaku telah memenuhi 3 syarat 
percobaan,yaitu ada niat untuk melakukan suatu kejahatan, dan sudah 
mewujudkan niat tersebut ke dalam suatu bentuk perbuatan permulaan 
pelaksanaan. Tetapi delik yang dituju itu tidak selesai (tidak terjadi) karena 
adanya faktor eksternal dari diri orang itu, yaitu karena  alatnya atau objeknya 
itu tidak sempurna. Apakah dapat dikatakan telah terjadi suatu percobaan 
melakukan pembunuhan jika A menghujamkan pisau ke dada B, yang ternyata B 
telah mati terlebih dahulu disebabkan oleh hal lain? Atau apakah dapat dihukum 
C yang hendak membunuh D, dengan cara memberikan racun ke dalam minuman 
D yang ternyata racun tersebut adalah gula? 
?2002 digitized by USU digital library 
22
 
Dalam hal seperti ini, tergantung dari teori mana kita melihatnya, apakah 
kejadian tersebut dapat dipidana. Bagi mereka yang menggunakan teori  
subjektif, tidak ada perbedaan antara ketidaksempurnaan mutlak maupun 
ketidaksempurnaan nisbi, karena dianggap dari semula pelaku sudah mempunyai 
niat untuk melakukan kejahatan. Untuk itu pelaku telah mewujudkan dengan 
adanya perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan. Sehingga dengan 
demikian peristiwa tersebut sudah merupakan suatu perbuatan percobaan 
melakukan kejahatan. Namun tidak demikian halnya denga teori objektif, hanya 
ketidaksempurnaan mutlak saja yang tidak dapat dipidana. Sebab dalam keadaan 
bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahan yang menjadi niat pelaku. 
Karena itu dianggap tidak mungkin membahayakan kepentingan hukum. Bagi 
teori objektif, ketidaksempurnaan nisbi sebenarnya telah sampai kepada 
penyelesaiaan kejahatan yang diniatkan pelaku. Hanya saja ada suatu keadaan 
sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Menurut 
teori objektif, hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga 
pelaku perlu dipidana. Sedangkan untuk ketidaksempurnaan mutlak, baik sasaran 
maupun sarana, dianggap tidak merupakan hal yang membahayakan kepentingan 
hukum sehingga tidak perlu pelaku dipidana. Apa yang dilakukan pelaku tidak 
sampai kepada hal yang dimaksudkan untuk kejahatan itu. Karena nyata-nyata 
sarana ataupun sasarannya mutlak salah (Loqman, 1996: 37). 
 
Dengan melihat putusan perkara ?Uang Sen Logam? Hoge Raad ternyata 
mempergunakan teori objektif. Putusan Hoge Raad tanggal 7 Mei 1906, 
No.W.8372 menyatakan membebaskan seorang wanita yang berminggu-minggu 
merendam beberapa keping sen tembaga ke dalam air mendidih, dimana air 
tersebut dipakai untuk membuat teh minuman suaminya, dengan harapan 
suaminya mati karena keracunan air tembaga. Menurut saksi ahli tembaga hasil 
rendaman uang logam tidaklah meracuni seseorang (Loqman, 1996: 37). 
 
2. Menurut RUU KUHP Nasional 
Berdasarkan ketentuan RUU KUHP Nasional diatur tentang percobaan yang 
tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan 
(kehendak) pembuat sendiri. Namun jika percobaan itu telah menimbulkan 
kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka tetap 
dipidana. 
Di dalam Pasal 18  RUU KUHP Nasional disebutkan bahwa seseorang tidak 
dapat dihukum karena  percobaan melakukan tindak pidana jika setelah 
permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya 
karena kehendaknya sendiri secara sukarela, Selain itu jika setelah permulaan 
pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah 
tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat juga tidak dipidana. 
Namun jika perbuatan permulaan pelaksanaan itu telah menimbulkan kerugian 
atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana 
tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana 
tersebut. 
 
Pasal 18 RUU KUHP Nasional menyebutkan: 
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak 
menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara 
sukarela, maka pembuat tidak dipidana. 
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan 
kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat 
perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. 
?2002 digitized by USU digital library 
23
 
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah 
menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan 
telah merupakan tindak pidana sendiri, maka pembuat dapat 
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut. 
 
Selain itu di dalam Pasal 20 RUU KUHP Nasional   diatur secara khusus 
tentang ketidakmampuan alat yang digunakan dan ketidakmungkinan objek yang 
dituju,  dimana perbuatan pelaksanaan telah dilakukan tetapi delik yang dituju 
tidak selesai atau akibat terlarang menurut undang-undang tidak timbul (Ondeug-
delijk Poging). 
 
Pasal 20 RUU KUHP Nasional menyebutkan:  
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan 
ketidakmampuan alat yang digunakan atau tidak kemampuan objek yang 
dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak 
pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari ? (satu per dua) maksimum 
pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. 
 
Di dalam Penjelasan Pasal tersebut disebutkan bahwa ketidakmampuan 
alat yang digunakan atau ketidakmungkinan objek tindak pidana yang dituju 
dapat terjadi secara relatif atau mutlak. Dalam hal ketidakmampuan alat atau 
ketidakmungkinan objek secara relatif, percobaan itu telah membahayakan 
kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak terjadi. Dalam 
hal ketidakmampuan alat atau ketidakmungkinan objek secara mutlak, tidak akan 
ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal 
tersebut maka yang dipergunakan adalah teori percobaan subjektif. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
?2002 digitized by USU digital library 
24
 
Daftar Pustaka 
 
 
 
Arief, Barda Nawawi, 1984, sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas Diponegoro, 
Semarang. 
Kanter, E.Y., dan s.r. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan 
Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta. 
Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir, 1983, Hukum Pidana Indonesia, Sinar 
Baru, Bandung. 
Lamintang, P.A.F., 1984, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, 
Bandung. 
Loqman, Loebby,1996, Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana, 
Universi-tas Tarumanagara, Jakarta. 
Moeljatno, 1985, Delik-Delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, Bina Aksara, 
Jakarta. 
Schaffmeister,D., N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor: J.E. 
Sahetapy, Liberty, Yogyakarta. 
Soesilo, R., 1980, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politea, Bogor. 
Sudarto, dan wonosutanto, 1987, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Program 
Kekhususan Hukum Kepidanaan Universitas Muhammadiyah, Surakarta. 
?2002 digitized by USU digital library 
25

Comments

Popular posts from this blog

Pasal UUD 1945 Yang Menyangkut Lembaga Eksekutif, Legislatif , Yudikatif

1.       MPR a)      Pasal tentang keanggotaaan MPR Pasal  2 1)           Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.****) b)      Pasal tentang sidang yang diselenggarakan MPR Pasal  2 2)           Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.  3)           Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. c)      Pasal tentang wewenang MPR dalam melantik dan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Pasal 3 (2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.***/ ****) (3)   Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)  Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presid

Resume Hukum Administrasi Negara (HAN)

BAB 1 ADMINISTRASI DAN HUKUM ADMINISTRASI 1.1  Peristilahan Istilah hukum administrasi negara berasal dari keputusan/kesepakatan pengasuh mata kuliah tersebut pada pertemuan di cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelumnya istilah yang di gunakan ialah mengacu pada SK mentri P dan K tanggal30 Desember 1972 yaitu dengan nama Hukum Tata Pemerintahan. Dikaitkan dengan penggunaan istilah “administrasi” kiranya perlu di kaji kembali yaitu arti kata/istilah “administrasi” dalam hukum administrasi negara apakah sama dengan arti/istilah administrasi dalam ilmu administrasi negara. Langkah sistematis yang bisa kita tempuh ialah dengan memaparkan arti istilah administrasi menurut konsep HAN dan arti istilah administrasi menurut konsep IAN dan di teliti dari kepustakaan masing masing. Dalam bahasa asing istilah yang di gunakan ialah : inggris menggunakan istilah “administrative law” belanda menggunakan istilah “administratief recht” atau “bestuursrecht” jerman menggunakan