DASAR-DASAR PERKAWINAN: PENGERTIAN DAN
TUJUAN PERKAWINAN, PENCATATAN, ITSBATH NIKAH, PUTUSNYA PERKAWINAN, RUJUK
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang bukan mahram.
Anwar Harjono mengatakan bahwa perkawinan adalah bahasa (Indonesia)
yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan nikah atau zawaj adalah
suatu akad atau suatu perjanjian
yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin.
Perkawinan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan
untuk melanjutkan keturunan.
B. Tujuan Perkawinan
Secara material, sebagaimana dikatakan oleh Sulaiman Rasyid, tujuan
perkawinan yang dipahami oleh kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang ,
diantaranya:
1.
Mengharapkan harta benda
2.
Mengharapkan kebangsawanannya
3.
Ingin melihat kecantikannya
4.
Agama dan budi pekertinya yang
baik
Tujuan subtansial dari perkawinan adalah :
1.
Menyalurkan kebutuhan seksualitas
manusia dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah dan mengendalikan bahwa hawa
nafsu dengan cara yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas
manusia sebagai hamba Allah.
2.
Mengangkat harkat dan martabat
perempuan. Karena dalam sejarah kemanusiaan, terutama pada zaman jahiliyah
ketika kedudukan perempuan tidak lebih dari barang dagangan yang setiap saat
dapat diperjualbelikan, bahkan anak-anak perempuan dibunuh hidup-hidup karena
dipandang tidak berguna secara ekonomi.
3.
Memproduksi keturunan agar menusia
tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Agar pembicaraan makhluk manusia bukan
sekedar nostalgia atau kajian antropologis sebagaimana membicarakan binatang purba
dan manusia primitif yang seolah-olah tidak lebih dari dongeng masa lalu.
Dalam pasal 3 KHI dinyatakan bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
C. Pencatatan Perkawinan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan yang berlaku. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedang bagi yang
beragama katolik, hindu, budha pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil
(KCS).
Akibat hukum tidak dicatatnya
perkawinan yaitu:
1.
Perkawinan dianggap tidak sah
dimata Negara
2.
Anak hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu dan keluarga ibu
3.
Anak dan ibunya tidak berhak atas
nafkah dan warisan
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh
pegawai pencatat nikah. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan
dibawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
D. Itsbat Nikah
Arti itsbat nikah adalah penetapan
atas pernikahan yang dilakukan oleh suami istri. Dimana pernikahan yang
dilakukan oleh para pihak telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Hukum asal
dari pernikahan itu adalah sah. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan unsur
keperdataan yang merupakan wewenang dari pengadilan agama.
Itsbat nikah yang dapat diajukan ke
pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan:
1.
Adanya perkawinan dalam rangka
penyelesaian perceraian
2.
Hilangnya akta nikah
3.
Adanya keraguan tentang sah atau
tidaknya salah satu syarat perkawinan
4.
Adanya perkawinan yang terjadi
sebelum berlaku undang-undang no. 1 tahun 1974
5.
Perkawinan yang dilakukan oleh
mereka yang mempunyai halangan perkawinan menurut undang-undang no. 1 tahun
1974.
E. Putusnya Perkawinan
Dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan
atas putusan pengadilan.
Putusnya perkawinan selain cerai
mati hanya dapat dibuktikan dengan surat
cerai berupa putusan pengadilan agama baik yang berbentuk putusan perceraian,
ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
F. Rujuk
Rujuk berarti kembali. Maksudnya
ialah hak yang diberikan oleh agama kepada bekas suami untuk melanjutkan
perkawinannya dengan bekas istrinya yang telah ditalaknya pada pertengahan masa
iddahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Apabila bekas suami hendak merujuki
bekas istrinya hendaklah memenuhi syarat-syarat berikut:
1.
Bekas suami yang rujuk itu adalah
orang yang mukallaf
2.
Cara rujuk. Ada dua pendapat dikalangan ahli fiqh tentang
cara rujuk. Pendapat pertama rujuk hanyaklah dengan perkataan. Pendapat kedua
dibolehkan rujuk dengan perkataan dan perbuatan.
3.
Rujuk hendaklah disaksikan dengan
dua orang saksi.
4.
Dilakukan oleh bekas suami diwaktu
bekas istri menjalankan masa iddahnya.
PEMINANGAN: PENGERTIAN PEMINANGAN, WANITA
YANG BOLEH DIPINANG, AKIBAT PUTUSNYA PINANGAN
A. Pengertian Peminangan
Kata “peminangan” berasal dari kata pinang, meminang (kata kerja).
Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa arab disebut “ khitabah”. Menurut etimologi, meminang
atau melamar artinya meminta wanita untuk dijadikan isteri. Sedangkan menurut
terminology, peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan peorang wanita. Atau seorang laki-laki
meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan car-cara yang umum
berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Peminangan merupakan salah satu tindakan pendahuluan sebelum menginjak
pada jenjang perkawinan, yang tentunya berdasar atas suatu
persetujuan/perjanjian antara kedua belah pihak sebelum ada ikatan suami istri
dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan
pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
B.Wanita Yang Boleh Dipinang
1. Tidak dalam pinangan orang lain
Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam an-Nasa’i
mengatakan:” tidak boleh bagi seorang laki-laki melamar tunangan orang lain
sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya”. Hadis yang senada juga
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat
izin dan pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita.
2.
Pada waktu dipinang tidak
ada penghalang syara’ yang melarang dilangsungkannya pernikahan.
Yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodjoah), atau penghalang yang lain,
sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya
dengan akad perkawinan.
3.
Perempuan itu tidak dalam
pada masa waktu iddah karena talaq raj’i
Perempuan yang telah dicerai dari suaminya dan sedang
menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam
hal ketidak bolehannya untuk dipinang baik dengan bahasa terus terang maupun
bahasa sindiran. Sedangkan perempuan yang menjalani iddah karena kematian
suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun
boleh meminangnya dengan bahasa sindiran, hal ini sebagaimana yan terdapat
dalam surat al-baqarah ayat 235.
4.
Perempuan dalam masa iddah
karena talak ba’in
Perempuan yang sedang menjalani iddah karena talak
ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus
terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran atau sirri, sebagaimana yang
berlaku pada wanita yang kematian suami. Kebolehan ini karena wanita tersebut
telah putus hubungannya dengan bekas suamnya.
5.
Wanita yang bukan istri
orang
Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih
punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh
dinikahi, baik dengan menggunakan bahasa terus terang atau dengan bahasa
sindiran.
C. Akibat Putusnya Pinangan
Berdasarkan pasal 58 BW, dapat disimpulkan bahwa bagi mereka yang
melakukan status tunangan tidak dipaksakan untuk melakukan suatu perkawinan.
Dalam ajaran Islam, ulama berpedapat bahwa boleh saja membatalkan tali
pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji
setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga
bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah penghianatan ikatan
janji setia. Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak
asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang pencorengan muka, kebahagiaan yang
indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut terbakar, serta kemelut
mengguncang.
PERSYARATAN NIKAH, RUKUN NIKAH, MEMPELAI,
WALI, SAKSI DAN AKAD NIKAH SERTA HUKUM MAHAR, BESARNYA MAHAR, JENIS-JENIS MAHAR
A. Persyaratan Nikah
Pada garis
besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:
1.
Calon mempelai perempuannya halal
dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikan istri.
2.
Akad nikahnya dihadiri para saksi.
B. Rukun Nikah
Perkawinan dinggap sah bila terpenuhi syarat den rukunnya. Kalau tidak
terpenuhi pada saat berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal.
Rukun perkawinan terdiri atas:
1.
Adanya calon suami
2.
Adanya calon istri
3.
Adanya wali dari pihak calon
pengantin wanita
4.
Adanya dua orang saksi
5.
Sighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul
yang diucapkan oleh atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon
pengantin laki-laki.
C. Mempelai
Syarat mempelai pria adalah:
1.
Beragama islam
2.
Jelas bahwa calon suami itu
betul-betul laki-laki
3.
Orangnya diketahui dan tertentu
4.
Calon mempelai laki-laki itu jelas
halal kawin dengan calon istri
5.
Calon mempelai tahu/kenal pada
calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya
6.
Calon suami rela untuk melakukan
perkawinan itu
7.
Tidak sedang melakukan ihram
8.
Tidak mempunyai istri yang haram
dimadu dengan calon istri
9.
Tidak sedang mempunyai istri empat.
Syarat mempelai perempuan yaitu:
1.
Beragama islam atau ahli kitab
2.
Terang bahwa ia wanita
3.
Wanita itu tentu orangnya
4.
Halal bagi calon suami
5.
Wanita itu tidak dalam ikatan
perkawinan dan tidak masih dalam iddah
6.
Tidak dipaksa
7.
Tidak dalam keadaan ihram haji
atau umrah
D. Wali Nikah
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut
susunan dibawah ini:
1.
Bapaknya
2.
Kakeknya
3.
Saudara laki-laki yang seibu
sebapak dengannya
4.
Saudara laki-laki yang sebapak
saja dengannya
5.
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang seibu sebapak dengannya
6.
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki yang sebapak saja dengannya
7.
Saudara bapak yang laki-laki
8.
Anak laki-laki pamannya dari pihak
bapaknya
9.
Hakim
Wali nikah ada lima,
yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim, wali maula, wali mujbir atau wali
“adol.
E. Saksi Nikah
Perkawinan tidak sah kecuali ada wali dan dua orang saksi.
Syarat-syarat
saksi yaitu:
1.
Dua orang laki-laki
2.
Berakal
3.
Baligh
4.
Islam
5.
Mendengar
6.
Adil
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
F. Akad Nikah
Sayyid sabiq
menguraikan beberapa persyaratan ijab Kabul
yaitu:
1.
Ijab Kabul hendaklah diadakan
dalam satu majelis, dalam satu tempat, tidak diselingi oleh hal-hal lain, dan
dihadiri oleh minimal empat orang, calon mempelai laki-laki atau wakilnya, wali
calon mempelai wanita atau wakilnya serta dua orang saksi.
2.
Jawaban dari pihak Kabul, tidak boleh
menyalahi kata-kata dari pihak wanita.
3.
Semua pihak yang terlibat harus
mendengar semua pernyataan kedua belah pihak yang melakukan ijab Kabul tersebut.
Beberapa
ketentuan akad nikah yang tercantum dalam KHI yaitu:
Pasal 27:
Ijab dan Kabul
antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu.
Pasal 28:
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29:
(1) Yang berhak mengucapkan Kabul
ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2) Dalam hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat
diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa
yang tegas secara tertulus bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah
untuk mempela pria.
(3) Dalam hal calon mempelai pria diwakili, maka akad
nikah tidak boleh dilangsungkan.
G. Hukum Mahar
Mahar adalah pemberian pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai
wanita berupa harta atau manfaat karena adanya ikatan perkawinan.
Mahar merupakan salah satu hak pihak mempelai wanita dan menjadi
kewajiban pihak mempelai laki-laki.
Dasar hukum adanya mahar dalam perkawinan, terdiri atas dasar hukum yang
diambil dari al-Qur’an dan dasar hukum dari as-Sunnah. Dilengkapi oleh pendapat
ulama tentang kewajiban pembayaran mahar oleh mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan.
Para ulama sepakat bahwa mahar wajib
diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan maupun dengan cara tempo.
Pembayaran mahar sesuai dengan perjajian yang terdapat dalam akad pernikahan
dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik
dan sebagai shadaqah, yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan
jumlahnya sesuai dengan akad nikah.
H. Besarnya Mahar
Besarnya mahar tidak ditetapkan dalam syariat islam. Besar kecilnya mahar
sangat bergantung pada kebiasaan maupun situasi dan kondisinya, sahingga
besarnya mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
selalu berbeda-beda.
Besar dan kecilnya jumlah mahar, jenis dan bentuknya hendaknya berpedoman
pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan oleh syariat
islam. Islam tidak menetapkan jumlahnya, tetapi disesuaikan dengan kemampuan
pihak mempelai laki-laki. Mengenai besarnya mahar, ulama fiqh telah bersepakat
bahwa tidak ada batas tinggi dan rendahnya.
I. Jenis-jenis Mahar
Ulama fiqh sepakat bahwa jenis mahar terbagi atas dua jenis yaitu:
1.
Mahar musamma
Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad.
2.
Mahar mitsil (sepadan)
Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat seelum ataupun
ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang
pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya,
dengan mengingat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
LARANGAN PERKAWINAN: HAL-HAL YANG MENJADI
HALANGAN NIKAH, NASAB, SEMENDA, SEPERSUSUAN, MEMADU.
A. larangan Kawin
Karena Pertalian Nasab
Bardasarkan Surat An-Nisa ayat 23, wanita-wanita yang haram dinikahi
untuk selamanya karena pertalian nasab adalah:
1.
Ibu, yang dimaksud ialah perempuan
yang ada hubungan darah dalam garis keturunan darah dalam garis keatas, yaitu
ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas.
2.
Anak perempuan, yang dimaksud
ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, yakni
anak perempuan, cucu perempuan baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan
dan seterusnya kebawah.
3.
Saudara perempuan baik seayah
seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4.
Bibi, yaitu saudara perempuan ayah
atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya keatas.
5.
Kemenakan perempuan, yaitu anak
perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.
B. Larangan Kawin Karena
Hubungan Mushaharah (Pertalian Kerabat Semenda)
Berdasarkan surat
an-Nisa ayat 23, wanita yang haram dinikahi karena pertalian kerabat semenda
adalah:
1.
Mertua perempuan, nenek perempuan
istri dan seterusnya keatas, baik garis ibu atau ayah.
2.
Anak tiri, dengan syarat kalau
telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan anak ibu anak tersebut.
3.
Menantu, yakni istri anak, istri
cucu, dan seterusnya kebawah.
4.
Ibu istri, yakni bekas istri ayah
untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan
ayah.
C. Larangan Kawin Karena
Hubungan Sesusuan
Wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya sesusuan adalah:
1.
Ibu susuan, yaitu ibu yang
menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang
sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram melakukan perkawinan.
2.
Nenek susuan, yaitu ibu yang
pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang
menyusui itu dipandang seperti ayah bagi anak susuan, sehingga haram melakukan
perkawinan.
3.
Bibi susuan, yakni saudara
perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya
keatas.
4.
Kemenakan atau susuan perempuan,
yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
6.
Saudara susuan perempuan, baik
saudara seayah kandung maupun seibu saja.
Sedangkan wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (larangan yang
bersifat sementara) adalah sebagai berikut:
1.
Dua perempuan bersaudara haram
dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan, maksudnya mereka
haram dimadu dalam waktu yang bersamaan.
2.
Wanita yang terikat perkawinan
dengan laki-laki lain, haram inikah oleh seorang laki-laki.
3.
Wanita yang sedang dalam masa
iddah, baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati.
4.
Wanita yang ditalak tiga, haram
kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang
lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan
telah habis masa iddahnya.
5.
Wanita yang sedang melakukan
ihram, baik ihram umrah maupun ihram haji, tidak boleh dikawini.
6.
Wanita musyrik, haram dinikah.
TAKLIK TALAK YANG TERDIRI DARI PERJANJIAN
PEMISAHAN HARTA BAWAAN DAN PELANGGARAN PERJANJIAN PERKAWINAN
A.
Pengertian Taklik Talak
“Taklik talak” berarti
“penggantungan talak”. Taklik-talak
menurut pengertian hukum Indonesia ialah semacam ikrar, yang dengan ikrar itu
suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas isterinya apabila ternyata
dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang telah diikrarkannya itu.
Dalam KHI Pasal 1 huruf e, menyebutkan bahwa taklik talak ialah
perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu
keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Didalam kitab-kitab fiqih pada umumnya difahamkan bahwa taklik talak
merupakan senjata bagi suami dalam memberikan peringatan dan pelajaran kepada
isterinya yang nusyuz, seperti suami menyatakan kepada isterinya yang sering
berkhalawat dengan pemuda A :” apabila
kamu masih menemui pemuda A, maka disaat kamu bertemu itu jatuhlah talak saya
satu kali atasmu”.
Dalam undang-undang Indonesia
taklik talak merupakan semacam ikrar suami terhadap istri yang dinyatakan
setelah terjadinya akad nikah. Pernyataan ikrar dari suami dalam melakukan
kehidupan suami istri nanti, bukan sebagai peringatan atau pengajaran dari
suami terhadap istrinya yang nusyuz. Taklik talak menurut kitab-kitab fikih
diucapkan oleh suami apabila ia menghendakinya, sedang menurut undang-undang Indonesia
diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau anjuran dari P3NTR
atau Pegawai Pencatat Nikah. Disamping itu taklik talak menurut hukum Indonesia
disyaratkan adanya ‘iwadl, sedang taklik talak yang terdapat dalam kitab-kitab
fikih tidak disyaratkan adanya ‘iwadl yang harus dibayar oleh pihak isteri kepada
Pengadilan Agama.
B.
Macam-Macam Taklik
Taklik ada dua macam: Pertama, taklik yang dimaksudkan seperti janji,
karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu
perbuatan atau menguatkan suatu khabar. Taklik seperti ini disebut taklik
dengan sumpah (taklik qasami),
seperti seorang suami berkata kepada isterinya. “Jika aku keluar rumah maka engkau tertalak”. Maksudnya suami
melarang isteri keluar ketika dia keluar, bukan dimaksud untuk menjatuhkan
talak.
Kedua, taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak, bila telah
terpenuhinya syarat. Taklik ini disebut taklik bersyarat. Umpamanya suami
berkata kepada isterinya: jika engkau
membebaskan aku dari membayar sisa maharmu, maka engkau tertalak.
C.
Syarat Taklik
Syarat-syarat taklik yang perlu diperhatikan sebelum dibuat dan dibacakan
sesaat selesai akad nikah, yaitu isinya tidak bertentangan dengan hukum islam,
tertera dengan jelas dan tegas, tetapi tidak boleh tanpa dalam keadaan nyata.
Seperti”kalau matahari terbit dari barat,
maka jatuhlah talak saya’.
Pada umumnya taklik itu ditegaskan dengan empat kemungkinan yang dapat
menimbulkan talak dan diucapkan setelah ijab Kabul dengan lafaznya sebagai berikut:
“taklik talak
akan jatuh.
Sewaktu-waktu
saya;
1)
Meninggalkan istri tersebut
2 tahun berturut-turut:
2)
Atau saya tidak memberikan
nafkah wajib kepadanya 3 bulan lamanya:
3)
Atau saya menyakiti
badan/jasmani istri saya itu:
4)
Atau saya membiarkan (tidak
memperdulikan ) istri saya itu 6 bulan lamanya.
Kalau suami telah mengucapkan janji itu dengan tegas dan dalam
kenyataanya dilanggar, maka jatuhlah talak taklik atas tuntutan istri.
D.
Pemisahan Harta Dalam Perkawinan
Di Indonesia terdapat suatu sistem peraturan dalam hal masalah harta
benda dalam perkawinan, yaitu peraturan menurut hukum agama islam, peraturan
menurut hukum BW dan peraturan menurut hukum adat.
Ø
Menurut hukum agama islam
Hukum islam menganggap bahwa harta benda milik suami dan harta benda
milik isteri satu sama lain adalah terpisah. Demikian halnya dengan harta benda
yang masing-masing peroleh selama berlangsungnya perkawinan mereka sebagai
penghasilan dari pekerjaannya, atau sebagai penghibahan dari orang lain, atau
hasil dari pembeliannya, dan lain sebagainya tetap terpisah satu dari yang lain
atau tidak dicampur.
Apabila suami atau isteri masing-masing ingin mempergunakan barang-barang
isteri atau suami, maka dalam hal ini suami atau isteri atas dasar suatu
perjanjian antara mereka.
Ø
Menurut Hukum Burgerlijk
Wetboek
Dalam sistem BW, pokok pangkalnya adalah bahwa pada hakekatnya terdapat
campur harta benda dari suami isteri secara bulat. Tetapi dalam hal ini,
sebelum mereka melakukan perkawinan, calon suami dan calon isteri pada saat itu
diberikan suatu kesempatan untuk saling berjanji, bahwa mereka tidak akan
melakukan campur harta benda secara bulat, atau campur harta benda terbatas,
dan atau akan tidak sama sekali mengadakan campur harta benda seperti halnya
dalam hukum islam.
Ø
Menurut hukum adat
Mengenai harta benda dalam suatu perkawinan menurut hukum adat, yaitu ada
kemungkinan sebagian dari harta benda suami dan isteri masing-masing adalah
terpisah satu dari yang lain, dan ada kemungkinan pula sebagian harta benda itu
adalah tercampur menjadi harta bersama.
- Pelanggaran Perjanjian Perkawinan
Jika terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam
perjanjian perkawinan, istri berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya
sebagai alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama (pasal 51 KHI).
Pemisahan kekayaan dalam perjanjian perkawinan dapat diakhiri dengan
pencabutan atas persetujuan bersama suami istri dan wajib didaftarkan di Kantor
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran ini,
pencabutan mengikat kepada suami istri.
F.
Hikmahnya
Ibnu Sina berkata dalam kitab asy-syifa’: seharusnya jalan untuk cerai
itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali. Karena menutup mati jalan
perceraian akan mengakibatkan beberapa
bahaya dan kerusakan. Ini diantaranya karena jika tabiat suami isteri satu sama
lain sudah tidak saling kasih sayang lagi. Jika terus-terusan dipaksakan untuk
tetap bersatu antara mereka, justru akan tambah tidak baik, pecah dan
kehidupannya menjadi kalut. Diantaranya pula, ada yang dapat suami tidak
sepadan, pergaulannya tidak baik, atau punya sifat-sifat yang dibenci. Hal ini
bisa jadi sebab isteri senang kepada orang lain, karena sudah jadi naluri
birahi hal demikian ini. Dan barang kali ketidak senangan kepada sifat-sifat
pasangannya menyebabkan macam-macam bahaya. Atau karena suami isteri tidak
beroleh keuntungan dan jika masing-masing ganti dengan yang lain barangkali
bisa punya anak. Karena itu, hendaklah perceraian itu diberi jalan .
PENGERTIAN DAN STATUS KAWIN HAMIL, STATUS
ANAK YANG DILAHIRKAN, HUKUM POLIGAMI DAN SYARAT-SYARAT POLIGAMI
A. Pengertian dan Status Kawin Hamil
Dalam kompilasi memang mengatur soal kawin dengan perempuan hamil, yaitu
dalam pasal 53.
(1)
Seorang wanita hamil diluar nikah,
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)
Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu
kelahiran anaknya.
(3)
Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang
dikandung lahir.
Kebolehan kawin menurut ketentuan diatas adalah terbatas laki-laki yang
menghamilinya.
Mengenai persoalan yang muncul apabila seorang perempuan hamil dinikah
oleh laki-laki yang tidak menghamilinya, Kompilasi Hukum Islam tidak merumuskan
antisipasi jawabannya. Tanpa bermaksud menuduh apalagi membuka “aib orang lain,
kemungkinan pernikahan antara seorang laki-laki yang bukan menghamili perempuan
yang hamil, sebagai “bapak” formal sebagai pengganti, karena laki-laki yang
menghamilinya tidak bertanggung jawab, bisa terjadi untuk tidak mengatakan
sering. Menghadapi persoalan demikian, pegawai pencatat sedikitnya mengalami
kemusykilan. Pertama, jika pernikahan dilangsungkan, status hukum perkawinannya
terancam tidak sah, yang apabila berlanjut dengan hubungan suami istri, berarti
hubungan tersebut juga tidak sah.
Dengan mengambil analogi (qiyas)
kepada wanita hamil yang dicerai atau ditinggal mati, sebenarnya telah jelas
bahwa masa tunggu (‘iddah) mereka,
adalah sampai dia melahirkan. Dengan kata lain, pada masa wanita tersebut
hamil, tidak dibenarkan untuk kawin dengan laki-laki lain. Dengan demikian
alasan kehamilan, cukup kongkret bahwa wanita hamil diluar nikahpun, tidak
dibenarkan kawin dengan laki-laki yang tidak menghamilinya.
Mayoritas ulama (jumhur)
cenderung membolehkannya, dan sebagian ulama menolaknya. Perbedaan pendapat ini
timbul karena perbedaan dalam memahami ayat wa
hurrima zaalika “ala al-mu’minin apakah kata ganti (damir) zaalika menunjukkan kepada zina atau nikah. Bagi mayorotas
ulama, ayat imi menunjukkan celaan saja bukan keharaman.
Menurut Ahmad Rofiq, pemahaman yang tidak membolehkan seorang laki-laki
nikah denga perempuan yang hamil, sementara dia bukan yang menghamilinya lebih
tepat. Karena akibat hukum yang ditimbulkan, seakan-akan kebolehan tersebut
memberi peluang kepada orang-orang yang kurang atau tidak kokoh keberagamaannya,
akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya diluar nikah. Padahal
akibatnya jelas dapat merusak tatanan moral dan juga kehidupan keluarga, serta
sendi-sendi keberagamaan masyarakat.
Kedua, apabila pernikahan terhadap perempuan hamil dengan laki-laki yang
tidak menghamilinya, tidak dapat dilangsungkan dalam batas-batas waktu
tertentu, akan menimbulkan dampak psikologi bagi keluarga perempuan tersebut,
dan juga bagi bayi yang dikandungnya, pada saat-saat pertumbuhannya akan
mendapat sorotan dari teman-temannya, yang bukan mustahil akan menjadi beban
mental berkepanjangan bagi dia.
Oleh karena itulah dalam hal ini ketelitian dan kearifan pegawai pencatat
merupakan peran penting dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya perkawinan
laki-laki baik-baik dengan wanita hamil.
B. Status Anak Yang
Dilahirkan
Menurut hukum islam, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala
keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya.
Demikian pula dengan hak waris mewarisi.
Anak diluar nikah terbagi menjadi dua kategori:
a.
anak yang dibuahi tidak dalam
pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut imam malik dan imam syafi’I, anak yang
dilahirkan setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu
dinasabkan kepada bapaknya. Jika nak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka
anak itu dinasabkan kepada ibunya.
b.
anak yang dibuahi dan dilahirkan
diluar pernikahan yang sah.
Ø
Tidak ada hubungan nasab
dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis
ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan
secara hokum.
Ø
Tidak ada saling mewaris
dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kewarisan.
Ø
Bapak tidak dapat menjadi
wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang
perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan
oleh bapak biologisnya.
C. Hukum Poligami
Dalam prespektif metodologis, pengaturan ketentuan hukum mengenai
poligami yang boleh dilakukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin
Pengadilan Agama, setelah dibuktikan izin isteri atau isteri-isteri,
dimaksudkan untuk merealisasikan kemaslahatan. Yaitu terwujudnya cita-cita dan
tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal abadi dan diridhai
Allah SWT. dan didasarkan pada cinta dan kasih saying (mawaddah wa rahmah). Karena itu segala persoalan yang dimungkinkan
akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut harus
dihilangkan atau setidaknya dikurangi. Ini sejalan dengan kaidah ushul “menghindari mudharat (kerusakan) harus
didahulukan daripada mengambil manfaat (kemaslahatan)”
Kendati demikian, kebolehan hukum poligami sebagai alternatif. Terbatas
hanya sampai empat orang isteri. Ini ditegaskan dalam pasal 55 Kompilsi Hukum
Islam di Indonesia:
(1)
Beristeri lebih dari satu orang
pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2)
Syarat utama beristeri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
(3)
Apabila syarat utama yang disebut
pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
D. Syarat-syarat Poligami
Menurut ketentuan pasal 5 UU Perkawinan dijelaskan:
(1)
Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang
ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/ isteri-isteri
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)
Persetujuan yang dimaksud dalam
ayat (1) huruf a pada pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari hukum pengadilan.
TUJUAN PENCEGAHAN PERKAWINAN, PIHAK-PIHAK
YANG DAPAT MELAKUKAN PENCEGAHAN PERKAWINAN DAN TATA CARA PENCEGAHAN PERKAWINAN
A. Tujuan Pencegahan
Perkawinan
Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang
dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pencegahan perkawinan
dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 60 KHI). Dalam pasal 13 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 merumuskannya: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.
Ada dua
syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat dicegah, pertama,
syarat materiil, dan kedua syarat adminidtratif. Syarat-syarat materiil
perkawinan dimuat dalam pasal 8 UU No.1 Tahun 1974. perkawinan dilarang antara
dua orang yang:
a.
Berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah maupun ke atas.
b.
Berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.
Berhubungan semenda, yaitu mertua
anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d.
Berhubungan susuan, yaitu orang
tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
e.
Berhubungan saudara dengan isteri
atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang.
f.
Mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Selain itu, syarat administratif juga harus dipenuhi. Oleh Karena itu
menurut ketentuan pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan:
(1)
Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat
di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2)
Pemberitahuan tersebut dalam ayat
(1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
(3)
Pengecualian terhadap waktu
tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh
camat atau nama bupati kepala daerah.
B. Pihak-Pihak Yang Dapat
Melakukan Pencegahan Perkawinan
Agar didalam upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan,
maka Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi mengatur siapa-siapa yang berhak
untuk mengajukan pencegahan perkawinan tersebut. Pasal 14 UU No.1 Tahun 1974
menyatakan:
(1)
Yang dapat mencegah perkawinan
ialah keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali
nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2)
Mereka yang tersebut pada ayat (1)
pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang
dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat
(1) pasal ini.
Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1974 juga memberi kesempatan kepada suami atau
isteri yang masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan untuk mencegah perkawinan yang baru. Demikian pula
ketentuan pasal 63 Kompilasi. Ini dimaksudkan untuk mengatasi perkawinan atau
poligami liar, yang dilakukan tanpa izin dari pengadilan atau isteri yang sudah
ada.
Dalam rumusan kompilasi, dituangkan dalam pasal 64 “pejabat yang ditunjuk
untuk mengawasi perkawinan, berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan
syarat perkawinan tidak terpenuhi. Hal ini dimaksudkan agar didalam pelaksanaan
perkawinan diusahakan semaksimal mungkin tidak terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan agama dan perundang-undangan. Maka dalam konteks ini, pegawai
pencatat nikah mempunyai tugas ganda, selain sebagai petugas yang ditunjuk
untuk mencatat perkawinan, ia juga ditugasi untuk mengawasi apakah terdapat
larangan perkawinan antara calon mempelai atau tidak.
Apabila pegawai pencatat nikah
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Hal itu
diatur dalam pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 69 Kompilasi.
(1)
Jika pegawai pencatat perkawinan
berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut
undang-undang ini maka ia menolak melangsungkan perkawinan.
(2)
Di dalam hal penolakan, maka
permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai
pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan
tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
C. Tata Cara Pencegahan Perkawinan
Mengenai tata cara dan prosedur pengajuan pencegahan perkawinan, diatur
dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 65 Kompilasi:
(1)
Pencegahan perkawinan diajukan
kepada pengadilan dalam daerah hokum damana perkawinan akan dilangsungkan
dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2)
Kepada calon-calon mempelai
diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Apabila pencegahan dilakukan oleh pegawai pencatat, caranya seperti
diatur dalam pasal 17 di atas, diberikan dalam suatu keterangan tertulis
disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Selanjutnya, apabila pihak-pihak
yang ditolak rencana perkawinannya mengajukan keberatannya kepada Pengadilan
Agama, seperti diatur dalam pasal 69 ayat (3) dan (4) KHI jo. Pasal 21 ayat (3)
dan (4).
Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974:
(3)
Para pihak yang perkawinannya ditolak,
berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai
pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan unuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut di atas.
(4)
Pengadilan akan memeriksa
perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan
menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar perkawinan
dilangsungkan.
(5)
Ketetapan ini hilang kekuatannya,
jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para
pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PERKAWINAN: PERKAWINAN
YANG DAPAT DIBATALKAN, PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PEMBATALAN PERKAWINAN,
PROSEDUR SERTA AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Perkawinan Yang Dapat
Dibatalkan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 22 menegaskan:”perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan”.
Macam-macam perkawinan yang dapat dibatalkan, dapat dikemukakan sebagi
berikut:
Pasal 24:
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan
pembatalan prkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat
(2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26:
(1)
Perkawinan yang dilangsungkan di
muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak
sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas
dari suami isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2)
Hak untuk membatalkan oleh suami
atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka
telah hidup bersama sebagai suami isteri yang dapat memperlihatkan akta
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah.
Dalam sistematika yang berbeda, kompilasi mengaturnya sebagai berikut:
Pasal 70: perkawinan
batal apabila:
a.
suami melakukan perkawinan, sedang
ia tidak berhak melakukan akad nikah harena sudah mempunyai empat orang isteri,
sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b.
seseorang menikahi bekas isterinya
yang telah dili’annya.
c.
Seseorang menikahi bekas isterinya
yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri
tersebut pernah menikah dengan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d.
Perkawinan dilakukan antara dua
orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu:
1.
berhubungan darah dengan garis
keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2.
berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.
berhubungan semenda, yaitu mertua,
anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4.
berhubungan sesusuan, yaitu orang
tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
e.
isteri adalah saudara kandung atau
sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71:
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.
Seorang suami melakukan poligami
tanpa izin Pengadilan Agama;
b.
Perempuan yang dikawini ternyata
kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud (hilang tidak
diketahui beritanya);
c.
Perempuan yang dikawini ternyata
masih dalam iddah dari suami lain;
d.
Perkawinan yang melanggar batas
umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974;
e.
Perkawinan dilangsungkan tanpa
wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.
Perkawinan yang dilaksanakan
dengan paksaan.
B. Pihak-Pihak Yang Dapat
Mengajukan Pembatalan Perkawinan
Mengenai orang-orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, diatur dalam pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 Kompilasi
Hukum Islam, yaitu:
a.
Para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri.
b.
Suami atau isteri.
c.
Pejabat yang berwenang hanya
selama perkawinan belum diputuskan.
d.
Pejabat yang ditunjuk tersebut
ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Ada
perbedaan rumusan redaksional pada huruf c dan d antara Undang-undang
Perkawinan dan Kompilasi. Dalam kompilasi redaksinya sebagai berikut:
c.
pejabat yang berwenang mengawasi
pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang;
d.
para pihak yang berkepentingan
yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menutut hokum
islam dan peraturan perundang-undangan sebagimana tersebut dalam pasal 67.
C. Prosedur Pembatalan Perkawinan
Pada pasal 74 Kompilasi mengatur cara beracara dalam permohonan pengajuan
pembatalan perkawinan, dan mengatur kapan mulai berlakunya keputusan pembatalan
perkawinan tersebut yang dalam undang-undang perkawinan diatur dalam pasal 28.
pasal 74 KHI berbunyi:
(1)
Permohonan pembatalan perkawinan
dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami
atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2)
Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
- Akibat Pembatalan Perkawinan
Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya jangan
sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan jo.
Pasal 75 dan 76 Kompilasi , dengan rumusan yang berbeda.
Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan:
Keputusan tidak
berlaku surut terhadap:
a.
Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut.
b.
Suami atau isteri yang betindak
dengan beriktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan
perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak
termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum kepuusan tentang pembatalan mempunyai ketetapan hokum tetap
Adapun bunyi pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut:
Pasal 75 KHI:
Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Perkawinan yang batal karena salah
satu dari suami isteri murtad.
b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut.
c.
Pihak ketiga sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan
perkawinan mempunyai kekuatan hokum yang tetap.
Pasal 76 KHI:
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hokum antara
anak dengan orang tuanya.
Antara suami isteri perlu menjaga agar selama dalam proses pembatalan di
Pengadilan tidak melakukan hubungan suami isteri. Ini dimaksudkan agar tidak
terjadi perbuatan hukum yang tidak sejalan dengan prinsip hukum islam.
Pertimbangan hukumnya, dalam situasi demikian, antara suami isteri tentu
mengalami keraguan tentang status perkawinannya, apakah masih dibenarkan
bergaul atau tidak. Dalam situasi ragu, seseorang dianjurkan untuk tidak
melakukan sesuatu sampai dia menjadi yakin.
Adapun mengenai status anak yang lahir dari akibat perkawinan yang
dibatalkan tersebut, mereka tetap memiliki hubungan hukum dengan ibu dan
bapaknya.menurut ketentuan pasal 76 Kompilasi menyatakan :”Batalnya suatu
perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang
tuanya. Penetapan hukum ini didasarkan kepada prinsip baraah al-asliyah, hukum sesuatu yang telah berlangsung ditetapkan
sebagaimana asalnya.
KEDUDUKAN SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN,
HARTA BAWAAN DAN STATUSNYA DALAM PERKAWINAN, HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN DAN
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA JIKA TERJADI PERCERAIAN
A. Kedudukan Suami Istri
Dalam Perkawinan
Pasal 31 UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
(1)
Hak dan kedudukan isteri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup dalam masyarakat.
(2)
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum.
(3)
Suami adalah kepala keluarga dan
isteri ibu rumah tangga.
Ketentuan pasal
31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam bagian kedua tentang kedudukan suami
isteri pasal 79.
B. Harta Bawaan Dan
Statusnya Dalam Perkawinan
Harta
Bawaan yaitu harta benda yang telah
dimiliki masing-masing suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan,
baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta
bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya
seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain
yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta
bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi
perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya,
kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Mengenai hal ini terdapat dalam pasal 36 ayat (2) UUP yang menyatakan
bahwa “mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hokum mengenai harta bendanya.
C. Harta Bersama Dalam
Perkawinan
Di dalam pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan:
Pasal 35:
(1)
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
(2)
Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama
perkawinan diluar hadiah atau warisan.
Menurut pasal 85, adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri diatur dalam pasal 36 ayat
(1) UU Perkawinan sebagai berikut: “ mengenai harta bersama suami atau isteri
dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapun ayat (2)
menjelaskan tentang hak suami atau isteri untuk membelanjakan harta bawaan
masing-masing.
Pengaturan lebih rinci masalah ini kompilasi mengatur dalam pasal 88, 89,
dan 90.
Pasal 88:
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama,
maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama.
Pasal 89:
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun
hartanya sendiri.
Pasal 90:
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami
yang ada padanya.
Pengaturan tentang bentuk kekayaan bersama dijelaskan dalam pasal 91 Kompilasi:
(1)
Harta bersama sebagaimana tersebut
dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud
(2)
Harta bersama yang berwujud dapat
meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)
Harta bersama yang tidak berwujud
dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)
Harta bersama dapat dijadikan
sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak lainnya.
Pasal tersebut menunjukkan adanya nuansa modern, seperti surat-surat
berharga (polis, bilyet giro, saham dan lain-lain).
D. Pembagian Harta Bersama
Jika Terjadi Perceraian
Pengaturan tentang
pembagian harta bersama jika terjadi perceraian diatur dalam pasal 96
kompilasi:
(1)
Apabila terjadi cerai mati, maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)
Pembagian harta bersama bagi
seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan
sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan pengadilan agama.
Pasal 97:
Janda atau duda
cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
ANAK DALAM PERKAWINAN YANG TERDIRI DARI
KEWAJIBAN DALAM PEMELIHARAAN, PENGINGKARAN PEMELIHARAAN ANAK SERTA PEMELIHARAAN
ANAK JIKA TERJADI PERCERAIAN
A. Kewajiban Dalam
Pemeliharaan Anak
Pemeliharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang
tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,
pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Dalam Kompilasi Bab XIV pasal 98 dijelaskan sebagai berikut:
(1)
Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)
Orang tuanya mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
(3)
Pengadilan agama tidak menunjuk
salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal tersebut mengisyaratkan bahwa kewajiban kedua orang tua adalah
mengantarkan anak-anaknya, dengan cara mendidik, membekali mereka dengan ilmu
pengetahuan untuk bekal mereka di hari dewasa
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mengemukakan dalam Bab X dengan tajuk Hak dan Kewajiban Antara Orang
Tua dan Anak.
Pasal 45:
(1)
Kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2)
Kewajiban orang tua yang dimaksud
dalam ayat (1) pasa ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sebdiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua
putus.
Pasal 46:
(1)
Anak wajib menghormati orang tua
dan menaati kehendak mereka yang baik.
(2)
Jika anak telah dewasa, ia wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
keatas, bila mereka memerlkukan bantuannya.
Pasal 47:
(1)
Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2)
Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai perbuatan hokum didalam dan di luar pengadilan.
Kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab orang tua adalah berkaitan
dengan hak kebendaan. Dalam pasal 106 Kompilasi dinyatakan:
(1)
Orang tua berkewajiban merawat dan
mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan
tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)
Orang tua bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kealaian dari kewajiban tersebut
pada ayat (1).
Hal ini dijelaskan dalam pasal 48 Undang-undang Perkawinan:”Orang tua
tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kompilasi juga melakukan antisipasi jika kemungkinan sorang bayi
disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya, pasal 104 menyatakan:
(1)
Semua biaya penyusuan anak
dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia,
maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah
kepada ayahnya atau walinya.
(2)
Penyusuan dilakukan untuk paling
lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun
dengan persetujuan ayah dan ibunya.
B. Pengingkaran Pemeliharaan
Anak
Berbagai peraturan yang berlaku saat ini memberikan hak kepada seorang
Ayah untuk mengingkari anak yang dilahirkan istrinya. Pasal 44 ayat 1 UU
Perkawinan No.1 Tahun 1974, menyatakan bahwa seorang suami dapat menyangkal
sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa
istrinya telah berzina dan anak itu adalah akibat dari perzinaan tersebut.
Sedangkan dalam pasal 251 KUH Perdata dinyatakan bahwa keabsahan seorang
anak yang dilahirkan sebelum hari ke-yang seratus delapan puluh dalam
perkawinan suami istri, dapat diingkari oleh si suami. Dalam pasal ini
pengingkaran tidak dimungkinkan jika:
Ø
Si suami belum perkawinan
sudah mengetahui akan mengandungnya si istri.
Ø
Suami telah hadir tatkala
akta kelahiran dibuat dan akta itu telah ditandatanganinya atau memuat
pernyataan darinya, bahwa ia tidak dapat menandatanganinya.
Ø
Si anak tidak hidup tatkala
dilahirkan.
Kompilasi Hukum Islam pasal 101 menyatakan bahwa suami yang meningkari
sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkaran
dengan li’an.
Kompilasi Hukum Islam pasal 102 memberi batas waktu pengajuan
pengingkaran anak ke pengadilan agama adalah:
Ø
180 sesudah hari lahir
sianak
Ø
360 hari sesudah putusnya
perkawinan, atau
Ø
Setelah suami mengetahui
bahwa istrinya melahirkan anak dan berada ditempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada
pengadilan agama.
Meski ketentuan-ketentuan diatas memberi hak kepada seorang ayah untuk
mengingkari anaknya, namun si Ayah harus dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinahan.
Alat bukti yang digunakan berkaitan dengan pembuktian adalah:
Ø
Akta kelahiran anak (yang
telah dibuktikan dalam register catatan sipil)
Ø
Saksi-saksi, hal ini dapat
dilakukan bila tidak ada akta kelahiran
Ø
Pengadilan mewajibkan yang
berkepentingan untuk mengucapkan sumpah.
Ø
Melakukan tes DNA .
C. Pemeliharaan Anak Jika
Terjadi Perceraian
Hak pemeliharaan anak adalah hak salah satu pihak untuk mengasuh,
memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri
Kompilasi mengaturnya secara lebih rinci dalam pasal 105 sebagai berikut:
Dalam hal
terjadinya perceraian:
a.
Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.
Pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya.
c.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.
Jadi meskipun pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dilakukan oleh
ibu dari anak tersebut, biaya pemeliharaannya tetap menjadi tanggung jawab
ayahnya. Tanggung jawab seorang ayah tidak hilang karena terjadi perceraian.
Adapun pelaksanaannya, seperti yang dimaksud aleh pasal 105 kompilasi,
ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuhnya selama anak tersebut belum
mumayyiz. Dan apabila si anak sudah mumayyiz maka anak disuruh memilih kepada
siapa diantara ayah dan ibunya, dia akan ikut.
Termasuk dalam tanggung jawab orang tua adalah merawat dan mengembangkan
harta anaknya, seperti diatur dalam pasal 106 kompilasi:
(3)
Orang tua berkewajiban merawat dan
mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan
tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan
yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(4)
Orang tua bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kealaian dari kewajiban tersebut
pada ayat (1).
Kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada
alasan-alasan yang menuntut pengalihan tersebut. Pasal 49 UUP menyatakan:
(1)
Salah seorang atau kedua orang tua
dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang
tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus
ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:
- ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
- ia berkelakuan buruk sekali.
(2)
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya,
mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB WALI, KEADAAN ANAK
YANG DIBAWAH PERWALIAN, SERTA MENJELASKAN HAL-HAL YANG MENYEBABKAN PUTUSNYA
PERKAWINAN (ALASAN-ALASAN PERCERAIAN, JENIS-JENIS TALAK, PROSEDUR PERCERAIAN,
JENIS-JENIS PERCERAIAN
A. Tugas dan Tanggung Jawab
Wali Serta Keadaan Anak Yang Di Bawah Perwalian
Dalam ketentuan umum pasal 1 Kompilasi huruf h dikemukakan, perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Mengenai tugas dan tanggung jawab wali dinyatakan dalam UU No.1 tahun
1974 pasal 51 ayat (3), (4) dan (5).
(3)
Wali wajib mengurus anak yang
dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati
agama dan kepercayaan anak itu.
(4)
Wali wajib membuat daftar harta benda
anak yang berada di bawah kekuasaannya itu pada waktu memulai jabatannya dan
mencatat semua perbuatan-perbuatan harta benda anak atau anak-anak itu.
(5)
Wali bertanggung jawab tentang
harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Selanjutnya mengenai rincian tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan
harta benda anak yang di bawah perwaliannya, dijelaskan dalam pasal 110
kompilasi:
(1)
Wali berkewajiban mengurus diri
dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan
berkewajiban memberikan bimbingan agar pendidikan dan keterampilannya untuk
masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2)
Wali dilarang mengikatkan,
membebani dan mengasingkan harta orang yang di bawah perwaliannya, kecuali bila
perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya
atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3)
Wali bertanggung jawab terhadap
harta orang yang berada di bawah perwaliannya, yang mengganti kerugian yang
timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian.
(4)
Dengan tidak mengurangi ketentuan
yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang
ditutup tiap satu tahun sekali.
Ketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) secara umum telah diatur dalam pasal
54 Undang-undang Perkawinan,”Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta
benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak
tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian tersebut.
Perwalian seseorang berakhir apabila anak yang di bawah perwaliannya
telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah kawin. Karena umur 21
atau telah kawin dianggap telah dapat hidup mandiri.
Tentang pembatasan atau berakhirnya perwalian dalam kompilasi dinyatakan
dalam pasal 111:
(1)
Wali berkewajiban menyerahkan
seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan
telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
(2)
Apabila perwalian telah berakhir,
maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang
yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
B. Hal-Hal Yang Menyebabkan
Putusnya Perkawinan (Alasan-Alasan
Perceraian)
Ada empat
kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu
timbulnya keinginan untuk memutus/terputusnya perkawinan.
1.
Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi isteri melakukan
nusyuz dikemukakan sebagai berikut:
a.
Isteri diberi nasehat tentang
berbagai kemungkinan negatif dan positifnya, dari tindakannya itu, terlebih
apabila sampai terjadi perceraian, dan yang terutama agar kembali lagi
berbaikan dengan suaminya.
b.
Apabila usaha pertama berupa
pemberian nasehat tidak berhasil, langkah kedua adalah memisahkan tempat tidur
isteri dari tempat tidur suami, meski masih dalam satu rumah. Cara ini
dimaksudkan agar dalam “kesendiriannya itu” ia memikirkan untung dan ruginya
dengan segala akibatnya dari tindakannya itu.
c.
Apabila langkah kedua tersebut
tidak juga dapat mengubah pendirian si isteri untuk nusyuz, maka langkah ketiganya adalah memberi pelajaran atau dalam
bahasa al-Qurannya memukulnya. Para mufasir
menafsirkan dengan memukul yang tidak melukai, atau yang lebih tepat adalah
mendidiknya.
2.
Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Jalan yang ditempuh aabila suami nusyuz
seperti acuh tak acuh, tidak mau menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka
upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara isteri merelakan haknya dikurangi
untuk sementara agar suami bersedia kembali kepada isterinya dengan baik.
3.
Terjadinya perselisihan atau
percekcokan antara suami dan isteri.
Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah Badan Penasehat Perkawinan dan
Penyelasaian Percearaian (BP4) yang tugas dan fungsinya menjalankan tugas hakam
(arbitrator) untuk mendamaikan suami isteri yang bersengketa atau dalam hal-hal
tertentu memberi nasehat calon suami dan isteri yang merencanakan perkawinan.
4.
Terjadinya salah satu pihak
melakukan perbuatan zina atau fakhsiyah, yang menimbulkan saling tuduh menuduh
antara keduanya. Cara penyelesaiannya adalah membuktikan tuduhan yan
didakwakan, dengan cara li’an.
Dalam Kompilasi pasal 116 disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi
karena alasan atau alasan-alasan:
a.
salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar di sembuhkan;
b.
salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hallain diluar kemampuannya;
c.
salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.
salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.
salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau isteri;
f.
antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga;
g.
suami melanggar taklik talak;
h.
peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
C. Jenis-Jenis Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi
menjadi tiga macam, sebagai berikut:
1)
Talak sunni, yaitu talak
yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah.
2)
Talak bid’i, yaitu talak
yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak
memenuhi syarat-syarat talak sunni.
3)
Talak la sunni wala bid’i,
yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk
talak bid’i
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
1)
talak sharih, yaitu talak
mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan
talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
2)
Talak kinayah, yaitu talak
dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar.
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk
kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
1)
Talak raj’i, yaitu talak
yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli, bukan karena memperoleh
ganti harta dari istri, talak yang
pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
2)
Talak ba’in, yaitu talak
yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya. Untuk
mengembalikan bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus
melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya.
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak
ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
1)
Talak dengan ucapan, yaitu
talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya
itu.
2)
Talak dengan tulisan, yaitu
talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada
istrinya , kemudian istri membacanya dan memahami isi dan maksudnya.
3)
Talak denga isyarat, yaitu
talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara.
4)
Talak dengan utusan, yaitu
talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantaraan orang
lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud
suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami bahwa suami
mentalak istrinya.
D. Prosedur Perceraian dan
Jenis Perceraian
Sejalan dengan prinsip atau asas Undang-undang Perkawinan untuk
mempesulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (UUPA. Pasal 65, jo. Pasal 115
KHI).
Adapun tata cara dan prosedurnya dapat dibedakan ke dalam dua macam:
- Cerai Talak (Permohonan)
Pasal 66 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama (UUPA)
menyatakan:
(1)
Seorang suami yang beragama islam
yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Dalam rumusan pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan beserta
pengadilan tempat permohonan itu diajukan.
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam,
yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya,
yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu.
(2)
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3)
Dalam hal termohon bertempat
kediaman diluar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
(4)
Dalam hal pemohon dan termohon
bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau
kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
(5)
Permohonan soal penguasaan anak,
nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan
bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak
diucapkan.
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 di atas memuat:
a.
nama, umur, dan tempat kediaman
pemohon, yaitu suami dan termohon yaitu isteri;
b.
alasan-alasan yang menjadi dasar
cerai talak.
Terhadap permohonan ini, pengadilan agama dapat mengabulkan atau menolak
permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi.
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 UUPA
menyebutkan:
(1)
Pemeriksaan permohonan cerai talak
dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2)
Pemeriksaan permohonan cerai talak
dilakukan dalam sidang tertutup.
Dalam rumusan pasal 15 PP Nomor 9/1975 dinyatakan:
Pengadilan yang
bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud
pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil
pengirim surat
dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan maksud perceraian.
Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum persidangan
dimulai, setiap kali persidangan tidak tertutup kemungkinannya untuk
mendamaikan mereka. Karena biasanya persidangan semacam ini, tidak bisa
diselesaikan dalam sekali persidangan.
Langkah berikutnya, diatur dalam pasal 70 UUPA sebagaimana dirinci dalam
pasal PP Nomor 9/1975:
(1)
Pengadilan setelah berkesimpulan
bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan
perceraian maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2)
Terhadap penetapan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1), isteri dapat mengajukan banding.
(3)
Setelah penetapan tersebut
memperoleh kekuatan hokum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian
ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri
sidang tersebut.
(4)
Dalam sidang itu suami atau
wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan
ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
(5)
Jika isteri telah mendapat
panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau
tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak
tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.
(6)
Jika suami dalam tenggang waktu 6
(enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang
menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat
panggilan secara sah atau petut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan
perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Selanjutnya diatur dalam pasal 17 PP Nomor 9/1975:
Sesaat setelah
dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam
pasal 16, ketua pengadilan membuat surat
keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan tersebut dikirimkan kepada
pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian.
Isi pasal 17 PP Nomor 9/1975 tersebut kemudian dirinci dalam pasal 131
ayat (5) KHI:
Setelah sidang
penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya
talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan
isteri.
- Cerai Gugat
Pasal 73 UU No.
7/1989 menyatakan:
(1)
Gugatan perceraian diajukan pleh
isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2)
Dalam hal penggugat bertempat
kediaman diluar negeri, gugatan perceraian dilakukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(3)
Dalam hal penggugat dan tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Berikutnya diatur mengenai alat-alat bukti yang menguatkan alasan-alasan
diajukannya gugatan.
Pasal 74:
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai
bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu
telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
Pasal 75:
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat
cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri
kepada dokter.
Pasal 76:
(1)
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus
didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang
yang dekat dengan suami isteri.
(2)
Pengadilan setelah mendengar
keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang
lain untuk menjadi hakam.
Gugatan tersebut gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya
putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Apabila terjadi perdamaian
maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada
dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Upaya
perdamaian ini dimungkinkan terjadi, mengingat ia tidak dibatasi pada sebelum
pemeriksaan perkara, namun dapat diupayakan setiap kali sidang.
Namun apabila tidak tercapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang tertutup. Meskipun sidang pemeriksaan dilakukan secara
tertutup, putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian tersebut diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Perceraian dianggap terjadi, beserta segala
akibat hukumnya terhitung sejak putusan pebngadilan memperoleh kekuatan hokum
tetap.
Setelah perkara gugatan perceraian diputuskan dalam sidang terbuka untuk
umum, salinan utusan dikirim kepada pihak-pihak yang terkait.
KEWAJIBAN BEKAS SUAMI DAN BEKAS ISTERI
PASCA PERCERAIAN WAKTU TUNGGU (IDDAH) DAN SEJENISNYA, MUT’AH, AKIBAT KHULU’ DAN
LI’AN, SERTA MENJELASKAN RUJUK DAN PERSYARATANNYA (PROSEDUR RUJUK) SUAMI DAN
ISTERI YANG DITINGGAL MATI SUAMI ATAU ISTERI
A. Kewajiban Bekas Suami Dan
Bekas Isteri Pasca Perceraian Waktu Tunggu (Iddah)
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a.
apabila perkawinan putus karena
kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh hari);
b.
apabila perkawinan putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari;
c.
apabila perkawinan putus karena
perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan;
d.
apabila perkawinan putus karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
samapai melahirkan.
Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul. Bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak
jatuhnya, putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hokum yang tetap,
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang
pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu haid. Dalam tersebut bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu
tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka
iddahnya menjadi tiga kali waktu suci. Apabila isteri bertalak raj’i kemudian
dalam waktu iddah di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya beubah menjadi
empat bulan sepuluh hari terhitug sejak matinya bekas suaminya.
B. Mut’ah
Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a.
belum ditetapkan mahar bagi isteri
ba’da al dukhul
b.
perceraian itu atas kehendak
suami.
Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
C. Akibat Khulu’ dan Li’an
Dalam pasal 161 HKI dinyatakan bahwa perceraian dengan jalan khuluk
mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.
Sedangkan akibat li’an, pasal 162 KHI menjelaskan bahwa bilamana li’an
terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yand dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi
nafkah.
D. Rujuk dan
Persyaratannya (Prosedur Rujuk)
Rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah
dengan isteri yang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama isteri masih
dalam masa iddah.
Masalah rujuk diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan maupun dalam PP Nomor 9 Tahun 1975. sementara dalam
kompilasi dijelaskan dalam bab XVIII pasal 163, 164, 165 dan 166.
Pasal
163:
(1)
Seorang suami dapat merujuk
isterinya yang dalam masa ‘iddah.
(2)
Rujuk dapat dilakukan dalam hal:
a.
putusnya perkawinan karena talak,
kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al
dukhul.
b.
Putusnya perkawinan berdasar
putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Adapun hikmah rujuk antara lain:
1.
Menghindari murka dan kebencian
Allah
2.
Bertobat dan menyesali
kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya
3.
Untuk menjaga kebutuhan keluarga,
dan menghindari perpecahan keluarga
4.
Mewujudkan islah atau perdamaian
Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai
Pencatat Nkah dan Tata kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan
Perundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama islam, kemudian dikuatkan lagi
dalam kompilasi hokum islam pasal 167, 168, dan 169. dalam Permenag RI
tersebut rujuk diatur dalam pasal 32, 33, 34 dan 38.
Pasal 167 kompilasi menyatakan:
(1)
Suami yang hendak merujuk
isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan.
(dalam pasal 32 ayat (1) Permenag RI No.3/75 hanya menyebut PPN atau
P3NTR yang mewilayahi tempat tinggal isteri).
(2)
Rujuk dilakukan dengan persetujuan
isteri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3)
Pegawai Pencatat Nikah atau
Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk
itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
akan dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang
akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4)
Setelah itu suami mengucapkan
rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani
Buku Pendaftaran Rujuk.
(5)
Setelah rujuk itu dilaksanakan,
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami
isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Selanjutnya setelah rujuk dilaksanakan lebih banyak bersifat teknis administratif,
yang menjadi tugas dan kewenangan Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR. Kompilasi
pasal 168 menyatakan:
(1)
Dalam hal rujuk dilakukan
dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2(dua)
disisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan utuk dicatat dalam buku
Pendaftaran rujuk dan yang lain disimpan.
(2)
Pengirimn lembar pertama dari
daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya
15 (lima belas)
hari sesudah rujuk dilakukan.
(3)
Apabila lembar pertama dari daftar
rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari
daftar lembar kedua dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Selanjutnya pasal 169 kompilasi menguraikan langkah administrative
lainnya:
(1)
Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang
terjadinya rujuk dan pengirimannya kepada pengadilan agama di tempat
berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami isteri masing-masing
diberikan Kutipan Bukti Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh
Menteri Agama.
(2)
Suami isteri atau kuasanya dengan
membawa kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di
tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengembil Kutipan Akta
Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan
Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa
yang bersangkutan telah rujuk
(3)
Catatan yang dimaksud ayat (2)
berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan
Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera.
Comments
Post a Comment
Share ya Sobat..