Menurut teori-teori “absolute”
ini setiap kejahatan diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa
tawar-menawar. Seorang mendapat pidana, oleh karena telah melakukan kejahatan.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun, yang mungkin timbul dari dijatuhkannya
pidana. Tidak diperdulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan
dirugikan. Hanya dilihat kemasa lampau, tidak dilihat masa depan.
“ Hutang pati, nyaur pati, hutang lara, nyaur lara “ , yang berarti : si pembunuh harus dibunuh, si penganiaya harus dianiaya. Demikianlah semboyan terdengar di Indonesia. “ Oog o moog, tand om tand” (mata sama mata, gigi sama gigi) dari Kitab Injil “oude testament” bermakna sama.
Nada yang sama sekiranya
terlihat juga dalam kitab Al’Quraan bagian An Nisaa ayat 93, yang berbunyi : “Dan
barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah
neraka jahanam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya”.
“Pembalasan” (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alas an untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar, lain tidak.
“Pembalasan” (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan sebagai alas an untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang dikejar, lain tidak.
Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya, dan pada masyarakat umumnya.
Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari pembalasan pada orang-orang lain dari pada si penjahat, yaitu pada para sanak keluarga atau kawan-kawan karibnya. Maka unsure pembalasan, meskipun dapat dimengerti tidak selalu dapat tepat menjadi ukutan untuk penetapan suatu pidana.
Tetapi ternyata kata “vergelding” atau pembalasan ini biasanya dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukan dasar dari teori “absolute” tentang Hukum Pidana (absolute straftrechstheorien).
Prof.Mr.J.M.van Bemmelen dalam buku karya bersama dengan Prof.Mr.W.F.C.van Hattum “Hand-en-Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht” jilid II halaman 12 dan 13 mengemkakan unsut “naastenliefde” (Cinta pada sama manusia) sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat.
Cinta pada sesame manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, menganiaya dan lain-lain sebagainya. Kalau benar orang cinta pada sesame manusia, ia tidak layak mencuri, menipu, membunuh, menganiaya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidanam yang dilimpahkan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari lain alas an. Jadi kini ada nada “absolute” atau mutlak pula.
Dikutip dari : Catatan ke-3 Asas-asas Hukum Pidana Di
Indonesia,
oleh : Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro SH
Postingan oleh Doly P.Sianturi
Comments
Post a Comment
Share ya Sobat..