Skip to main content

Penafsiran Undang-undang Hukum Pidana


   Soal ini didalam doktrin merupakan soal yang penting sekali dan juga merupakan tugas penting pula bagi hakim.

      Hukum Pidana sendiri tidak menentukan syarat-syarat penafsirannnya. Adapun yang diterangkan didalam Titel IX buku I KUHP bukanlah syarat-syarat penafsiran undang-undang hukum pidana, akan tetapi hanya mengenai penafsiran dari beberapa kata-kata dan istilah yang dipergunakan didalam KUHP. Ini yang disebut "Autentieke Interpretatie" / Penafsiran Autentik.

      Ini tidak berati bahwa isi buku I memberi cara  penafsiran daripada pasal-pasal hukum pidana, akan tetapi hanya sekedar memberi penafsiran daripada kata-kata dan istilah-istilah yang dipergunakan oleh Hukum Pidana dan tidak mengenai seluruh soal. Oleh sebab Hukum Pidana sendiri memberi cara penafsiran dari undang-undang hukum pidana, maka penafsirannya disandarkan pada dokrin dan kekuasaan hakim (jurisprudensi).

        Pada umumnya, syarat-syarat penafsiran yang berlaku bagi lapangan hukum, misalnya Hukum Perdata, Hukum TataNegara, dsb berlaku juga bagi penafsir hukum pidana, terkecuali beberapa syarat.

        Syarat pokok untuk mengadakan penafsiran daripada undang-undang adalah, Bahwa undang-undang itu harus di tafsirkan atas dasar undang-undang itu sendiri (Simons : "Het hoofdbeginsel ancet sijn, dat da wat uit zichzelf moet worden verklaard"). Ini berati guna menafsirkan undang-undang itu tidak boleh diambil bahan-bahan penafsiran dari luar undang-undang.

        Akan tetapi, disamping itu kita tidak boleh mengabaikan kejahatan, meskipun undang-undang itu dibentuk dengan istilah-istilah yang tegas, namun masih menimbulkan kemungkinan untuk mengadakan berbagai penafsiran, bahkan dapat pula menimbulkan keraguan.

       Berhubungan dengan itu syarat penting apabila susunan kata-kata sudah tegas, arti kata lain yang harus dipakai sebagai dasar penafsiran. Bila ternyata kata-kata yang dipergunakan oleh undang-undang memberi kemungkinan untuk menafsirkannya dalam beberapa arti, kita mempergunakan cara lain penafsirannnya.
      Jadi : Lain cara penafsiran itu, hanya dipergunakan apabila kata-kata didalam undang-undang itu tida tegas.


Admin : DOLY P SIANTURI

Comments

Popular posts from this blog

Pasal UUD 1945 Yang Menyangkut Lembaga Eksekutif, Legislatif , Yudikatif

1.       MPR a)      Pasal tentang keanggotaaan MPR Pasal  2 1)           Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.****) b)      Pasal tentang sidang yang diselenggarakan MPR Pasal  2 2)           Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara.  3)           Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. c)      Pasal tentang wewenang MPR dalam melantik dan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Pasal 3 (2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.***/ ****) (3)   Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****)  Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presid

Resume Hukum Administrasi Negara (HAN)

BAB 1 ADMINISTRASI DAN HUKUM ADMINISTRASI 1.1  Peristilahan Istilah hukum administrasi negara berasal dari keputusan/kesepakatan pengasuh mata kuliah tersebut pada pertemuan di cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelumnya istilah yang di gunakan ialah mengacu pada SK mentri P dan K tanggal30 Desember 1972 yaitu dengan nama Hukum Tata Pemerintahan. Dikaitkan dengan penggunaan istilah “administrasi” kiranya perlu di kaji kembali yaitu arti kata/istilah “administrasi” dalam hukum administrasi negara apakah sama dengan arti/istilah administrasi dalam ilmu administrasi negara. Langkah sistematis yang bisa kita tempuh ialah dengan memaparkan arti istilah administrasi menurut konsep HAN dan arti istilah administrasi menurut konsep IAN dan di teliti dari kepustakaan masing masing. Dalam bahasa asing istilah yang di gunakan ialah : inggris menggunakan istilah “administrative law” belanda menggunakan istilah “administratief recht” atau “bestuursrecht” jerman menggunakan

Pasal 53 & 54 KUHP : Mengenai Pogging ( Percobaan )

  PERCOBAAN   (Poging)   MOHAMMAD  EKAPUTRA, SH.,M.Hum Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara     A. Pengertian Percobaan (Poging)    1.  Percobaan Menurut KUHP   Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:    Pasal 53 (1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. (2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.                 Pasal 54  Mencoba me